Sempat beberapa kali aku mengunjunginya. Dari rangkain kalimat yang sempat terlontar dari mulutnya aku susun catatan. Kukait-kaitkan. Seperti orang buta yang meraba-raba jarum dalam tumpukan jerami. Kejahatan apa yang telah ia lakukan?
Ayahnya mengatakan, "Jika dia bebas berkeliaran. Akan menyulitkan keluarga. Dan akan memuat orang tua malu."
Ibunya suatu ketika, sambil menangis juga bercerita, "Aku dahulu tak pernah berpikir akan memiliki akan seperti dia. Bermimpi pun tak berani. Â Kejahatannya tak mungkin terampuni."
Apa yang terjadi?
Dengan membawa cokelat aku datang lagi ke pondok penjaranya. Dia ternyata pernah mendengar iklan dari suara televisi tetangga. Kalau cokelat dapat menenangkan pikiran. Diraihnya cokelat. Dimakannya dengan lahap.
Dan sebuah pengakuan mengejutkan. Aku yakin kali ini dia jujur padaku.
"Suatu malam, saat itu hujan sangat deras. Aku sendirian terkurung dalam pondok ini. Aku berteriak-teriak minta agar boleh masuk rumah. Sedikit menghangatkan badan saja. Tak sepasang telinga mendengar. Tak ada sepasang mata mau melihatku. Sampai hujan reda, tak ada apa-apa.
Dalam gigil, hanya seekor kucing datang mendekat. Masuk lewat celah-celah. Menemani malamku. Menghangatkan tubuhku."
"Lalu apa yang terjadi selanjutnya," kataku penasaran.
"Kucingnya kelaparan. Aku tak punya makanan. Aku tak mau kucing itu pergi. Ia memaksa pergi. Semakin aku tahan, semakin meronta. Kemudian..." Ia menghela napas panjang.
Aku hanya diam.