Dari bola mata semua dusta bicara. Dari bola mata kejahatan jadi pesona.
"Keluarkan bola matamu, kau akan selamat."
Aku tak habis pikir. Mengapa bola mata disebut pemantik segala dusta. Dari bola mata semua kejahatan bermula. Sementara yang mengatakan itu adalah orang yang buta sejak lahirnya.
"Aku tak punya mata, namun aku punya telinga. Aku mendengar bisik-bisik sebuah kejahatan mulai direncanakan. Aku ikut dalam konspirasi penyebab kenatian."
Sebuah pengakuan mengejutkan.
"Kau telah melakukan apa?" kataku.
Dia hanya diam. Kebiasaan penjahat menghindari saling tatap mata. Aku yakin pasti ada dusta. Tapi bagaimana bisa? Ia buta sejak lahirnya. Dari mana dia tahu kalau berdusta harus menghindari saling tatap?
Dan benar-benar terjadi. Beberapa kali kejahatannya diketahui. Beruntungnya bukan polisi. Coba saja jika aparat keamanan menemukan. Tak ada celah untuknya selamat dari jeratan kejahatan.
"Benar, Bang. Aku tak berbuat apa-apa. Aku hanya mengikuti naluriku," katanya.
Aku tetap tak percaya atas pengakuannya. Gerak geriknya sulit ditebak. Seperti seorang yang buta, aku urai perlahan kejadian yang telah menimpanya.
Keluarga mengurungnya dalam sebuah pondok di belakang rumah. "Dia akan melakukan kejahatan, makanya kami kurung. Tenang saja. Jika diberi makan. Dia tak akan mati," kata ayahnya suatu ketika.
Sempat beberapa kali aku mengunjunginya. Dari rangkain kalimat yang sempat terlontar dari mulutnya aku susun catatan. Kukait-kaitkan. Seperti orang buta yang meraba-raba jarum dalam tumpukan jerami. Kejahatan apa yang telah ia lakukan?
Ayahnya mengatakan, "Jika dia bebas berkeliaran. Akan menyulitkan keluarga. Dan akan memuat orang tua malu."
Ibunya suatu ketika, sambil menangis juga bercerita, "Aku dahulu tak pernah berpikir akan memiliki akan seperti dia. Bermimpi pun tak berani. Â Kejahatannya tak mungkin terampuni."
Apa yang terjadi?
Dengan membawa cokelat aku datang lagi ke pondok penjaranya. Dia ternyata pernah mendengar iklan dari suara televisi tetangga. Kalau cokelat dapat menenangkan pikiran. Diraihnya cokelat. Dimakannya dengan lahap.
Dan sebuah pengakuan mengejutkan. Aku yakin kali ini dia jujur padaku.
"Suatu malam, saat itu hujan sangat deras. Aku sendirian terkurung dalam pondok ini. Aku berteriak-teriak minta agar boleh masuk rumah. Sedikit menghangatkan badan saja. Tak sepasang telinga mendengar. Tak ada sepasang mata mau melihatku. Sampai hujan reda, tak ada apa-apa.
Dalam gigil, hanya seekor kucing datang mendekat. Masuk lewat celah-celah. Menemani malamku. Menghangatkan tubuhku."
"Lalu apa yang terjadi selanjutnya," kataku penasaran.
"Kucingnya kelaparan. Aku tak punya makanan. Aku tak mau kucing itu pergi. Ia memaksa pergi. Semakin aku tahan, semakin meronta. Kemudian..." Ia menghela napas panjang.
Aku hanya diam.
"Kucing itu aku robek-robek kulitnya. Dagingnya aku makan. Tinggal kulit dan tulang belulang. Tak seorang pun tahu, sisa tengkoraknya aku benamkan di bawah dudukanku. Di pondok ini. Aku cakar sendiri dengan tanganku. Aku pendam. Aku sembunyikan."
"Hanya sekali?"
"Setelahnya, setiap hujan datang. Aku tak pernah lagi merasa kedinginan dan kesepian. Aku tak tahu. Apakah itu kucing atau binatang lainnya. Aku hanya merasa memiliki teman. Dan ketika pagi hari, aku kelelahan menanam sisa kerangka teman-teman malamku."
Namanya Ki, diangap gila oleh keluarganya. Dia memang buta. Benar-benar buta sejak lahir. Keluarganya hanya malu memiliki anak yang buta. Sehingga ikut membutakan hatinya, menyerahkan Ki bersama teman malam, dan berakhir jadi santapan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H