Sejalan dengan UU di atas, pengembangan pribadi harusnya menjadi prioritas utama. Dengan UN yang menentukan kelulusan dan tidaknya peserta didik membalik posisi bahwa tingkat kecerdasan menjadi sangat penting di antara segalanya.
Untuk memenuhi nilai yang tinggi, akhirnya seluruh upaya berfokus pada nilai. Sebuah angka yang harus diraih oleh peserta didik. Makanya tidak mengherankan ketika sekolah dan orangtua memberikan bimbingan belajar untuk peserta didiknya.
Banyak kepala sekolah yang bangga ketika sekolahnya mendapatkan nilai tertinggi ujian nasional, meskipun sikapnya dalam sosial buruk.
Kondisi ini diperparah dengan respons masyarakat yang menganggap, bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang dapat menghasilkan nilai ujian nasional tinggi. Padahal, obsesi seperti itu menguras banyak energi, biaya, dan waktu.
Buruknya, obsesi tersebut terkadang mengorbankan kejujuran. Pelaku pendidikan rela melakukan apa pun agar siswanya lulus dengan nilai baik. Akhirnya, berbagai potensi anak tidak diurus, sebab semua proses pembelajaran hanya fokus pada beberapa mata pelajaran ujian nasional saja.
Ketika UN tidak ada lagi, tidak ada salahnya jika meninjau kembali fondasi pendidikan di negeri ini yang masih berorientasi pada penalaran matematis. Bukankah tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia, yang tidak lain adalah manusia beradab?
Sebuah cerita singkat dari sesepuh suku Badui, mengapa suku Badui tak mau menyekolahkan anaknya. Katanya, mengapa anaknya harus sekolah. Dijawab, anak sekolah biar pintar. Sesepuh suku Badui menjawab, Kami tidak mau menyekolahkan anak kami. Kami tidak ingin anak kami pintar, tapi kami ingin anak kami baik.
Jawaban singkat dari sesepuh Badui dalam kisah singkat di atas sangat sederhana, tetapi menjadi kritik bagi dunia pendidikan kita. Substansi dari jawaban tersebut adalah mengharapkan output pendidikan adalah manusia yang beradab.
Untuk menciptakan manusia beradab, maka diperlukan seperangkat nilai yang harus dijadikan dasar, yakni compassion.
1. Mengembangkan Kebersamaan
Untuk mengembangkan rasa welas asih dan empati (rasa kasihan) dimulai dari membangun kebersamaan. Dengan model pembelajaran berkelompok, rasa kebersamaan dapat dibangun dengan kesadaran. Yang lebih mengerti memberikan bantuan temanya menyelesaikan pelajaran yang sedang dihadapi.
Pujian guru tidak lagi kepada peserta didik yang mendapatkan nilai terbaik, namun lebih menekankan pada rasa kebersamaan. Ketika ada peserta didik yang dengan sabar membantu masalah temannya yang mengalami kesulitan belajar harus mendapatkan pujian lebih besar.