Bismillahirrahmanirrahim (kalimat basmallah). Dalam kalimat tersebut pembaca diperkenalkan dengan dua sifat Tuhan, yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang Maha Kasih dan Maha Penyayang. Â
Manusia diminta untuk memiliki semangat kasih dan sayang.
Wahai guru se Indonesia, Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Awaluddin Tjalla menyatakan akan menambahkan dua kompetensi tambahan pada kurikulum kita, yaitu computational thinking dan compassion.
Bagaimana? Siapkah, atau pensiun dini saja karena tak mampu mengimplementasikannya pada pembelajaran?
Oh, iya. Tak usah pesimis dahulu. Compassion memang sebuah istilah yang baru kita dengar dan masih asing di telinga kita. Apa sih compassion? Bagaimana mengimplementasikannya dalam pembelajaran?
Tenang saja, setiap ada penambahan muatan baru dalam kurikulum pasti akan ada pelatihan besar-besaran lagi. Jadi jangan khawatir. Kita pasti akan bertemu dan bertatap muka lagi dengan rekan sesama guru.
Seperti dilansir laman cnbcindonesia.com, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan dua kompetensi baru dalam sistem pembelajaran anak Indonesia. Dua kompetensi tambahan itu adalah Computational Thinking dan Compassion. (18 Februari 2020)
Baiklah, saya hanya coba buka arsip catatan lama tentang istilah compassion dalam pembelajaran. Semoga saja apa yang ada di kepala saya sesuai dengan makna Compassion yang dimaksudkan Pak Nadiem Makarim dan Pak Awaluddin Tjalla.
Menurut KBBI, Compassion artinya keharuan, perasaan kasihan/terharu, membangkitkan rasa kasihan. Dalam makna yang termasuk dalam istilah compassion adalah welas asih, empati, kasih sayang, dan lain-lain.
Pendidikan karakter telah memuat compassion sebenarnya. Masalahnya ada di mana?
Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Keberadaan UN dianggap jadi salah satu gagalnya pendidikan karakter di sekolah.
Sejalan dengan UU di atas, pengembangan pribadi harusnya menjadi prioritas utama. Dengan UN yang menentukan kelulusan dan tidaknya peserta didik membalik posisi bahwa tingkat kecerdasan menjadi sangat penting di antara segalanya.
Untuk memenuhi nilai yang tinggi, akhirnya seluruh upaya berfokus pada nilai. Sebuah angka yang harus diraih oleh peserta didik. Makanya tidak mengherankan ketika sekolah dan orangtua memberikan bimbingan belajar untuk peserta didiknya.
Banyak kepala sekolah yang bangga ketika sekolahnya mendapatkan nilai tertinggi ujian nasional, meskipun sikapnya dalam sosial buruk.
Kondisi ini diperparah dengan respons masyarakat yang menganggap, bahwa sekolah yang baik adalah sekolah yang dapat menghasilkan nilai ujian nasional tinggi. Padahal, obsesi seperti itu menguras banyak energi, biaya, dan waktu.
Buruknya, obsesi tersebut terkadang mengorbankan kejujuran. Pelaku pendidikan rela melakukan apa pun agar siswanya lulus dengan nilai baik. Akhirnya, berbagai potensi anak tidak diurus, sebab semua proses pembelajaran hanya fokus pada beberapa mata pelajaran ujian nasional saja.
Ketika UN tidak ada lagi, tidak ada salahnya jika meninjau kembali fondasi pendidikan di negeri ini yang masih berorientasi pada penalaran matematis. Bukankah tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia, yang tidak lain adalah manusia beradab?
Sebuah cerita singkat dari sesepuh suku Badui, mengapa suku Badui tak mau menyekolahkan anaknya. Katanya, mengapa anaknya harus sekolah. Dijawab, anak sekolah biar pintar. Sesepuh suku Badui menjawab, Kami tidak mau menyekolahkan anak kami. Kami tidak ingin anak kami pintar, tapi kami ingin anak kami baik.
Jawaban singkat dari sesepuh Badui dalam kisah singkat di atas sangat sederhana, tetapi menjadi kritik bagi dunia pendidikan kita. Substansi dari jawaban tersebut adalah mengharapkan output pendidikan adalah manusia yang beradab.
Untuk menciptakan manusia beradab, maka diperlukan seperangkat nilai yang harus dijadikan dasar, yakni compassion.
1. Mengembangkan Kebersamaan
Untuk mengembangkan rasa welas asih dan empati (rasa kasihan) dimulai dari membangun kebersamaan. Dengan model pembelajaran berkelompok, rasa kebersamaan dapat dibangun dengan kesadaran. Yang lebih mengerti memberikan bantuan temanya menyelesaikan pelajaran yang sedang dihadapi.
Pujian guru tidak lagi kepada peserta didik yang mendapatkan nilai terbaik, namun lebih menekankan pada rasa kebersamaan. Ketika ada peserta didik yang dengan sabar membantu masalah temannya yang mengalami kesulitan belajar harus mendapatkan pujian lebih besar.
Posisi tempat duduk menghadap ke depan menandakan peserta didik harus berjuang sendiri dalam memahami pelajaran. Kerja kelompok jarang menjadi ukuran. Pujian lebih sering diberikan kepada seorang peserta didik yang mampu menjawab soal.
Proses belajar seperti ini menegasikan individu lainnya. Peserta didik yang pintar semakin sombong, sementara yang tidak mampu menjawab soal semakin terpuruk. Mereka dianggap tidak berarti di kelas. Akhirnya rasa kebersamaan perlahan pudar.
2. Rasa Persahabatan
Kita sebagai guru dan orangtua jarang memantau tingkat sosialisasi peserta didik. Menanyakan berapa jumlah teman, siapa saja temannya di sekolah, rumah temannya di mana, dan sebagainya.
Orangtua lebih sering menanyakan bagaimana ujian di sekolah, ada PR atau tidak, dapat peringkat berapa. Kalau nilai anak jelek, orangtua segera mengundang guru privat. Seolah-olah sekolah hanya perkara nilai, bukan persahabatan.
Dengan menekankan bahwa nilai sebuah persahabatan itu sangat penting kepada peserta didik dalam pembelajaran. Membantu teman yang mengalami kesulitan belajar dan membantunya juga menumbuhkan rasa persahabatan di antara peserta didik.
Penilaian dari guru terkait masalah persahabatan dapat berupa penilaian oleh sesama peserta didik. Dengan menanyakan berapa teman yang disukai, apa saja yang menyebabkan mereka disukai, dan sebagainya mampu menumbuhkan rasa persahabatan sesama peserta didik. Orientasi nilai prestasi menjadi nomor dua setelah rasa persahabatan.
3. Menumbuhkan Kepedulian
Kepedulian terhadap orang lain menjadi hal penting membantu pertumbuhan kepribadian peserta didik. Dua fondasi kepedulian dalam konsepsi compassion adalah simpati dan empati. Proses pembelajaran juga harus memberikan ruang kepada anak untuk mengekspresikan rasa simpati dan empati terhadap orang lain.
Hal sederhana dapat diawali membiasakan mendoakan teman sekelas yang mendapatkan musibah. Mengajak siswa menengok teman sekelas yang sakit. Mengumpulkan sumbangan bagi teman atau kerabat dari teman yang terkena musibah.
Sebenarnya, banyak model untuk menumbuhkan rasa simpati dan empati tersebut. Mungkin yang paling berkesan ketika memberikan hadiah sepatu kepada teman sekelas yang sepatunya rusak atau tidak layak.
Memberikan hadiah baju seragam, buku tulis, pulpen, dan barang-barang lain yang berharga bagi membantu teman sekelasnya yang mengalami kesusahan
Menurut penelitian Stephen Post dalam bukunya Why Good Things Happen to the Good People, remaja yang sering berbagi sesuatu dengan temannya akan berkurang tingkat stress dalam proses belajar.
Sekolah harus yakin bahwa nilai bukan ukuran segala-galanya dalam menilai kesuksesan peserta didik. Terlalu banyak potensi peserta didik yang dikesampingkan jika nilai menjadi parameter keberhasilan.
Semoga compassion dapat teraplikasi pada pembelajaran di dalam kelas. Dengan kesadaran penuh bahwa compassoin teramat penting menjadikan peserta didik menjadi orang baik seperti peringatan yang disampaikan sesepuh suku Badui tadi. Semoga.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H