Anak remaja, peserta didik, guru dan sekolah pasti tak akan ada habisnya jika dibahas. Belum lagi lenyap kasus guru yang memukul siswa berbuntut pemecatan, masyarakat dihebohkan dengan permainan gila-gilaan yang tersebar lewat youtube. Permainan menjadi viral dan bisa dipastikan akan menjadi trend bagi remaja. Termasuk di antaranya pada peserta didik.
Siapa lagi kalau disebut remaja hampir semua mereka adalah peserta didik. Dan kerumunan massa terbesar adalah ketika peserta didik berada di sekolah. Jangan heran ketika sebuah permainan kian menantang, makin banyak remaja yang melakukan.
Pasti akan menjadi asyik buat menjebak teman-temannya yang belum mengetahui Skullbreaker Challenge itu seperti apa dan akibat yang ditimbulkannya.
Secara akal sehat saja, sesorang diminta meloncat kemudian kakinya ditendang dan terjatuh ke belakang dalam kondisi tidak tahu atau tidak menyadari akan dijatuhkan, bagian tubuh yang akan menyentuh lantai pertama kali adalah bagian belakang tubuh. Bokong, tulang belakang, dan kepala bagian belakang.
Ketika bokong yang jatuh membebani berat tubuh pasti akan sangat sakit. Tulang ekor mungkin akan patah dan dampaknya pasti sangat fatal. Demikian juga ketika yang menyentuh lantai pertama kali adalah tulang belakang. Sementara tulang belakang adalah penopang segala syaraf manusia. Kerusakan yang parah pada tulang belakang dapat menyebabkan kematian.
Ada pun yang paling mengerikan adalah ketika yang jatuh dan menimpa lantai pertama kali adalah kepala bagian belakang. Padahal pendarahan otak kecil bagian belakang kepala akan berdampak pada pendarahan di otak. Kegagalan pungsi otak juga sungguh fatal dan berdampak pada kematian.
Keberadaan Skullbreaker Challenge di media sosial sebaiknya mendapat perhatian serius menkominfo untuk segera diblokir dan dilarang. Mengingat ketika banyak remaja mengetahui cara mempecundangi temannya pasti lambat laun akan dicoba dan dilakukan. Di mana tempatnya? Kalau bukan di sekolah di mana lagi.
Di sekolah banyak teman-teman remajanya berkumpul. Gelagat ingin mengerjai teman se kelasnya juga pasti akan terjadi. Apalagi tak butuh banyak orang. Hanya dengan dua orang saja sudah mampu memperdaya salah satu dari mereka.
Nah, kalau Skullbreaker Challenge terjadi di sekolah ketika jam istirahat, ketika istirahat isoma, ketika menjelang pulang sekolah, atau jeda pelajaran sementara pergantian guru memasuki kelas bagaimana? Apakah guru hanya cukup memberikan nasihat dan peringatan akan bahaya Skullbreaker Challenge lantas para peseeta didik mengikuti nasihat guru? Belum tentu.
Buktinya, kurang apa guru mulutnya berbusa memberikan nasihat bahwa di sekolah tidak boleh ada perundungan, perundungan tetap terjadi. Tidak boleh melakukan pelecehan terhadap lawan jenis, pelecehan tetap terjadi. Tidak boleh memalak uang jajan temannya, memalak uang jajan peserta didik lainnya tetap terjadi.
Lalu sebaiknya apa yang harus dilakukan guru selain memberikan nasihat. Tentang Skullbreaker Challenge, jelas guru sudah menjadi teladan. Tak akan ada guru yang melakukan Skullbreaker Challenge pada rekan guru yang lain. Ternyata peserta didik tak cukup hanya diberikan nasihat dan teladan. Dalam hal tertentu pasti ada sanksi yang layak diberikan. Namun apa sanksi yang akan diberikan agar kesadaran peserta didik tumbuh dan berkembang?