Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Padahal Sudah Dewasa, Terlambatkah Menggali Potensi Diri?

4 Februari 2020   22:30 Diperbarui: 4 Februari 2020   23:16 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sih sebagian orang yang cenderung materialistis. Tak salah juga. Sah-sah saja. Kalau kemudian alasan penolakan karena faktor timbal balik yang akan diterima setelah mengerjakan atau menolong orang lain, mungkin tak berkaitan dengan penggalian potensi diri. Yang ada adalah potensi untung rugi dalam bentuk materi.

Merasa sudah bisa hingga setiap apa yang dikerjakan harus menghasilkan keuntungan. Model orang yang seperti ini merasa bahwa potensi diri yang dimilikinya sudah besar. Menguntungkankah? Dalam hal tertentu mungkin saja menguntungkan bagi yang bersangkutan. Namun dalam hal lain pasti ada sisi yang merugikan.

Kemudian apa kaitannya antara malas, merasa tidak bisa, dan merasa tak ada untungnya dalam menggali potensi diri?

Pertama, ketika perasaan malas masih bersarang dalam hati maka kemauan untuk berkembang menjadi terkendala. Kemampuan yang dimiliki tak akan bertambah sama sekali. Jika bisa sesuatu atau terampil sesuatu,  ya bisa itu saja yang dikuasainya.

Dan pada akhirnya karena rasa malas yang berkepanjangan mengakibatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki perlahan-lahan akan hilang. Perlunya menambah dan mendalami pengetahuan jadi sangat penting. Perlunya mengasah keterampilan lebih penting lagi.  
Agar keretampilan yang dimiliki terasah dengan baik diperlukan pengulangan sesring mungkin dan melatih keterampilan yang dimiliki.

Kedua, merasa tidak bisa merupakan penyakit yang harus dikikis habis dalam diri kita. Masak kalah sama anak kecil sih, coba saja ketika mereka berpikir atau berkata dalam hatinya, akh sepertinya saya tidak bisa. Jangankan untuk menaiki sepeda. Berjalan pun mungkin tidak akan bisa dilakukan.

Seperti halnya anak TK ketika diminta menuliskan huruf atau angka. Jika mereka berfikir bahwa mereka tidak bisa mungkin tak akan ada lagi anak yang pandai membaca dan berhitung. Nyatanya hampir semua anak SD bisa membaca dan berhitung.

Jadi kalau orang dewasa diminta melakukan pekerjaan atau diminta tolong melakukan sesuatu kemudian berkata, aku tidak bisa. Apa tidak malu tuh pada anak TK dan SD. Ha ha ha. Pikirkan saja.

Ketiga, tidak ada untungnya. Kalau yang ke tiga ini benar-benar penyakit orang dewasa. Mengerjakan sesuatu berpikir dulu untungnya apa, ruginya apa? Cerdas banget memang.

Menghitung setiap untung dan rugi dari apa yang dikerjakan. Padahal untung dan rugi mengerjakan sesuatu tidak hanya dinilai dari materi. Kadang ada keuntungan non materi yang lebih bermanfaat dan lebih besar daripada sekedar materi.

Dengan mencermati dari tiga hal di atas, rasanya tidak akan terlambat untuk orang dewasa menggali potensi yang dimilikinya dengan cara hindari rasa malas yang berkepanjangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun