Siapa di antara kita yang pernah mengucapkan kata di bawah ini?
1. Jangan paksa saya, Pak. Saya tak bisa.
2. Suruh yang lain saja. Bener, saya tidak bisa.
3. Mohon maaf, saya sibuk. Cari yang lain saja ya.
3. Ok, Siap laksanakan. Semoga berhasil. Doakan saja.
Hayo ngaku tak usah malu. Anda termasuk nomor 1, 2, 3, atau yang nomor 4.
Percakapan di atas adalah empat jenis penolakan dan satu kesiapan. Apa penyebabnya?
Kadang saya heran ketika bertemu kawan-kawan, baik ketika berada di tempat kerja atau ketika santai duduk-duduk di warung kopi. Ada saja kalimat di atas terdengar.
Ketika teman atau atasan meminta kita melakukan sesuatu, pasti mereka telah menakar potensi yang kita miliki. Jika dia saya suruh mengerjakan ini, pasti dia bisa. Begitulah yang terpikir ketika memberikan perintah atau ketika meminta tolong.
Lalu apa yang membuat kita menolak, bahkan sebelum mencoba? Jawabnya adalah berikut ini:
1. Malas
Tak ada obat bagi orang malas. Mau diapakan juga namanya malas ya malas. Rasa-rasanya hanya satu yang dapat mengurangi seseorang untuk berkurang rasa malasnya. Ada yang mengatakan bahwa rasa malas akan berkurang jika diancam.
Kemudian saya kaitkan dengan kondisi sekarang, banyak atasan yang memberikan perintah pada bawahannya dengan ancaman.
Salah satu contohnya adalah guru. Apakah guru malas? Banyak guru yang tidak malas. Walau ada juga sebagian kecil. Segelintir yang menyebabkan yang lain mengalami kesulitan.
Mengapa saya sebut guru? Karena saya guru maka yang lebih mengena adalah soal guru. Walau pun di instansi pemerintah lainnya, atau di perusahaan swasta juga sangat banyak.
Bentuk ancaman beraneka ragam. Mulai dari ancaman penurunan jabatan, ancaman pengurangan gaji, ancaman mutasi, sampai ancaman pemberhentian.
Mungkinkah dengan ancaman kemalasan berkurang? Belum ada penelitian yang menyebutkan bahwa dengan ancaman, kemalasan berkurang. Yang jelas, secara kasat mata jika kita diancam maka kemalasan sedikit berkurang.
Contoh lain yang juga terlihat nyata adalah berburu mengejar finger print pada instansi pemerintah dan sekolah. Mengapa? Ancamannya jika jumlah kehadiran tidak memenuhi syarat yang ditentukan maka akan ada pengurangan tunjangan.
Akhirnya ancaman bisa dijadikan alasan agar rasa malas berkurang. Syukur-syukur kalau bisa hilang.
2. Merasa Tidak Bisa
Merasa tidak bisa juga merupakan penyebab seseorang menolak melakukan perintah atau memberikan pertolongan. Padahal lumrahnya apa yang diminta dapat dilakukan.
Untuk hal-hal yang memang benar-benar tak dapat dilakukan mungkin saja jadi alasan penolakan. Contohnya saya, diminta mengerjakan apa pun siap. Hanya satu yang sungguh sulit saya lakukan, yaitu ketika berkaitan dengan ketinggian.
Kalau diminta memanjat atap rumah, meskipun dengan tangga sekuat dan se aman apa saja pasti sungguh gemetaran. Fobia ketinggian entah berasal dari mana, padahal dahulu ketika masih remaja sering manjat atap rumah ketika berburu layang-layang. Padahal sekali pun saya tak pernah jatuh ketika melakukan pemanjatan.
Pokoknya kalau disuruh memanjat pohon. Meskipun rambutan, mangga, atau durian mateng di kebun saya tetap saja hanya menatap dari bawah. Dan berharap ada orang lain yang bersedia memanjatkannya. Barulah buah itu bisa saya nikmati.
Jika dipaksa, karena darurat misalnya pasti akan saya coba. Pengalaman pernah melakukan pemanjatan pasti berguna. Walau pun dengan setengah takut juga ternyata.
Nah, kalau berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang bisa dipelajari barangkali tak ada alasan, ketika alasan tidak bisa dikemukakan untuk melakukan penolakan.
Apalagi ketika perasaan tidak bisa dinyatakan untuk menolak setelah diberikan bimbingan pengetahuan dan keterampilan. Maka merasa tidak bisa hanya penolakan karena memang tidak ingin mengerjakan.
3. Merasa Tak Ada Untungnya
Tak sedikit di antara kita yang menilai setiap pekerjaan yang dilakukan harus ada untungnya  dalam bentuk nominal. Kalau aku mengerjakan ini berapa rupiah aku dapatkan? Jika aku menolongnya berapa imbalan yang akan aku dapatkan?
Ada sih sebagian orang yang cenderung materialistis. Tak salah juga. Sah-sah saja. Kalau kemudian alasan penolakan karena faktor timbal balik yang akan diterima setelah mengerjakan atau menolong orang lain, mungkin tak berkaitan dengan penggalian potensi diri. Yang ada adalah potensi untung rugi dalam bentuk materi.
Merasa sudah bisa hingga setiap apa yang dikerjakan harus menghasilkan keuntungan. Model orang yang seperti ini merasa bahwa potensi diri yang dimilikinya sudah besar. Menguntungkankah? Dalam hal tertentu mungkin saja menguntungkan bagi yang bersangkutan. Namun dalam hal lain pasti ada sisi yang merugikan.
Kemudian apa kaitannya antara malas, merasa tidak bisa, dan merasa tak ada untungnya dalam menggali potensi diri?
Pertama, ketika perasaan malas masih bersarang dalam hati maka kemauan untuk berkembang menjadi terkendala. Kemampuan yang dimiliki tak akan bertambah sama sekali. Jika bisa sesuatu atau terampil sesuatu, Â ya bisa itu saja yang dikuasainya.
Dan pada akhirnya karena rasa malas yang berkepanjangan mengakibatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki perlahan-lahan akan hilang. Perlunya menambah dan mendalami pengetahuan jadi sangat penting. Perlunya mengasah keterampilan lebih penting lagi. Â
Agar keretampilan yang dimiliki terasah dengan baik diperlukan pengulangan sesring mungkin dan melatih keterampilan yang dimiliki.
Kedua, merasa tidak bisa merupakan penyakit yang harus dikikis habis dalam diri kita. Masak kalah sama anak kecil sih, coba saja ketika mereka berpikir atau berkata dalam hatinya, akh sepertinya saya tidak bisa. Jangankan untuk menaiki sepeda. Berjalan pun mungkin tidak akan bisa dilakukan.
Seperti halnya anak TK ketika diminta menuliskan huruf atau angka. Jika mereka berfikir bahwa mereka tidak bisa mungkin tak akan ada lagi anak yang pandai membaca dan berhitung. Nyatanya hampir semua anak SD bisa membaca dan berhitung.
Jadi kalau orang dewasa diminta melakukan pekerjaan atau diminta tolong melakukan sesuatu kemudian berkata, aku tidak bisa. Apa tidak malu tuh pada anak TK dan SD. Ha ha ha. Pikirkan saja.
Ketiga, tidak ada untungnya. Kalau yang ke tiga ini benar-benar penyakit orang dewasa. Mengerjakan sesuatu berpikir dulu untungnya apa, ruginya apa? Cerdas banget memang.
Menghitung setiap untung dan rugi dari apa yang dikerjakan. Padahal untung dan rugi mengerjakan sesuatu tidak hanya dinilai dari materi. Kadang ada keuntungan non materi yang lebih bermanfaat dan lebih besar daripada sekedar materi.
Dengan mencermati dari tiga hal di atas, rasanya tidak akan terlambat untuk orang dewasa menggali potensi yang dimilikinya dengan cara hindari rasa malas yang berkepanjangan.
Bercerminlah pada usaha keras anak yang belajar berdiri, berjalan dan lari. Jika mereka sanggup melakukannya padahal sebelumnya tidak bisa lalu menjadi bisa.
Dan terakhir, seyogianya tidak selalu menghitung untung rugi dalam bentuk materi setiap akan melakukan pekerjaan atau memberikan pertolongan kepada orang lain. Mungkin saja suatu ketika kita butuh pertolongan orang lain atas apa yang benar-benar tidak bisa kita lakukan.
Menyadari bahwa setiap kita adalah istimewa. Memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Maka dari itu saling memberi dan menerima perlu ditumbuhkan.
Nah sekarang kalau ada yang bertanya pada anda, terlambatkan menggali potensi yang dimiliki? Jawabnya apa? Terserahlah, kan anda sudah dewasa tak perlu lagi diajari menjawab pertanyaan mudah seperti itu. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H