Mohon tunggu...
Rooy John
Rooy John Mohon Tunggu... Administrasi - Cuma Orang Biasa

God gave me a pair of wings Love and Knowledge With both, I would fly back home to Him

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Muara (52)

28 Juni 2022   23:17 Diperbarui: 29 Juni 2022   22:16 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Loncat! Selamatkan diri!"

Perintah kepala pasukan seratus kepada para prajurit yang mencapai tepian muara.

Blip!

Booooom!

Tembakan para prajurit goa yang bertahan di hutan bakau mulai terdengar saat helikopter mencapai batas langit kota.

Blip!

"Segera mundur ke muara!"

Suara kepala pasukan seratus menggelegar, memberi instruksi kepada para prajurit goa di pelataran kota Yakin untuk kembali.

Blip!

Senjata yang menggantung di punggung kini digeser ke depan dada. Serempak. Gerakan jutaan robot itu menimbulkan bunyi teratur. Prak! Prak!Prak!

01101111

01110101

01110010

01110010

Aliran angka binary terus berlari dari lengan Guruh. Masuk menggabung dengan angka angka lain yang bergerak menuruni dinding matrix ke jurang tanpa batas tanya.

Suami Menik menatap ke depan mobil. Tidak tersedia pandangan apa pun. Semuanya gelap.

"Guruh! Guruh! Aku di sini. Berhentilah barang sebentar saja."

"Cindy?"

"Iya, Mas."

"Apa yang kamu lakukan di dalam sana? Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu denganmu."

"Kita berpisah saat aku menikah, Mas."

Seorang perempuan muda tersenyum ramah menyambut Guruh dari balik dunia yang terhalang kristal tak tembus materi.

Kendaraan berhenti.

"Kamu bagian dari kota yang menindas kami?"

"Kami tidak menindas. Kami menawarkan hidup yang baik. Hidup yang diimpikan semua manusia. Tanpa kelaparan. Tanpa kemiskinan. Tanpa kesakitan."

"Tidak ada hidup seperti itu, Cindy. Kita semua terbatas. Itulah takdir kita."

"Berikan pendapatmu setelah kamu melihatnya, Mas. Seeing is believing."

Cindy mengulurkan tangannya.

"Spirit lead me where my trust is without borders"

"Let me walk upon the water"

"Wherever you would call me"

Sayup terdengar suara kidung menggema di antara gelap dunia sekeliling Guruh.

"Setelah semua penderitaan yang kalian timpakan kepada kami?"

Guruh bergeming.

"Kami menawarkan perdamaian, Mas. Kalian orang goa yang menjawab dengan perang. Sampai kapan kita terus hidup seperti ini? Hidup yang tidak pernah memandang keindahan pagi selain dari langit yang dipenuhi asap mesiu? Berapa lama kalian akan berlari dari satu tempat ke tempat yang lain? Dunia adalah tempat yang baik untuk hidup. Namun kebaikan itu tidak datang sendiri. Kita yang menciptakannya, Mas."

Cindy tersenyum menatap Guruh.

"Langsung ke tujuanmu, Cindy."

"Aku tahu, kamu tidak mempercayaiku. Tapi dengar, Mas. Kamu tidak akan pernah memahami orang lain tanpa pernah mengenalnya lebih dekat. Mari. Masuk ke sini. Lihat. Dengar. Rasakan. Dunia kami tidak seburuk pikiranmu."

Guruh diam.

"Kamu tidak perlu berdamai dengan kami, kalau memang itu pilihanmu. Tapi pikirkanlah hari esokmu, juga hari esok orang-orang yang kamu cintai. Mungkin dengan masuk ke sini, kamu bisa menemukan jalan baru bagaimana kita hidup berdampingan sebagai masyarakat beradab. Kamu tidak perlu tinggal di sini. Hanya masuk. Melihat. Mendengar. Merasa."

Guruh menatap Cindy. Mungkin benar kata perempuan itu. Perang ini dapat dihentikan. Memahami orang lain adalah jalan menuju keselarasan. Lagipula, bukankah ia hanya berdiri di sana sebentar untuk melihat, mendengar dan merasakan kehidupan kota itu?

Suara Suami Menik dan para prajurit penyerta yang berteriak di belakangnya sama sekali tidak tertangkap telinga ketika Guruh menarik perlahan tangannya dari dinding matrix.

Bilangan-bilangan binary yang kembali masuk ke dalam tangannya pun  tidak ia perhatikan. Akan halnya semua kejadian, peristiwa dan waktu yang berlari kembali. Semua tidak disadarinya.

Senyum Cindy terlihat semakin menawan saat hanya tersisa setengah dari telapak tangannya di dinding matrix.

Laut yang bergelora. Terang dan gelap abadi. Hujan belerang. Orang-orang yang berlarian di tengah kota. Ledakan di jembatan. Tawa anak-anak sekolah menangah. Bunga yang bermekaran. Air sungai mengalir. Semua bergerak berbalik ke permulaannya.

Kaki Guruh siap melangkah memasuki gelas kaca saat hanya tersisa jari-jarinya di dinding matrix.

Ketaksaan meliputi Guruh.

Yang tersisa kini hanya dirinya dan Cindy.

Sampai akhirnya sebuah kejadian melintas dengan cepat pada dinding gelas.

Terang....gelap....terang....gelap.....

Wajah Menik dan Suaminya muncul di hadapan Guruh.

"Kamu sekarang jadi aneh. Sepertinya kamu tidak perlu terlalu banyak berbincang dengan Guruh."

"Hah? Apa kamu sudah tidak waras? Guruh adikmu. Adikku juga. Adik kita. Tidak pantas kamu berbicara seperti itu."

"Itu bukan berarti kita mendengar semua kata-katanya. Dia sekarang terlihat seperti orang aneh. Dia menghapus akun facebook-nya. Dia menghapus instagram-nya. Dia membuang aplikasi whattsapp dari tilpun genggamnya. Hidupnya sudah seperti orang di masa sebelum tilpun ditemukan."

"Kalau itu keberatanmu, aku memilih percaya padanya seratus persen."

Seketika. Fragmen itu memudar.

Tubuh Guruh seakan luruh dalam lobang gelap tanpa batas. Tetapi ia sendiri menyaksikan bagaimana ia meluncur. Tubuh dan rohnya seperti terpisah.

"Mas......"

Suara itu keluar dari tubuhnya yang melayang jatuh, namun menggema dalam gendang telinganya.

Saat wajah Cindy berubah menjadi ribuan wajah lain yang menyambutnya di batas bening kristal pemisah, lelaki harapan orang-orang goa itu menekan kembali tangannya ke dinding matriks. Bilangan binary mengalir dari tangannya dan sekujur tubuhnya berubah merah menyala.

01101011

01100001

01101001

01101000

01100101

01100100

01101111

01111000

01100001

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun