"Kami menawarkan perdamaian, Mas. Kalian orang goa yang menjawab dengan perang. Sampai kapan kita terus hidup seperti ini? Hidup yang tidak pernah memandang keindahan pagi selain dari langit yang dipenuhi asap mesiu? Berapa lama kalian akan berlari dari satu tempat ke tempat yang lain? Dunia adalah tempat yang baik untuk hidup. Namun kebaikan itu tidak datang sendiri. Kita yang menciptakannya, Mas."
Cindy tersenyum menatap Guruh.
"Langsung ke tujuanmu, Cindy."
"Aku tahu, kamu tidak mempercayaiku. Tapi dengar, Mas. Kamu tidak akan pernah memahami orang lain tanpa pernah mengenalnya lebih dekat. Mari. Masuk ke sini. Lihat. Dengar. Rasakan. Dunia kami tidak seburuk pikiranmu."
Guruh diam.
"Kamu tidak perlu berdamai dengan kami, kalau memang itu pilihanmu. Tapi pikirkanlah hari esokmu, juga hari esok orang-orang yang kamu cintai. Mungkin dengan masuk ke sini, kamu bisa menemukan jalan baru bagaimana kita hidup berdampingan sebagai masyarakat beradab. Kamu tidak perlu tinggal di sini. Hanya masuk. Melihat. Mendengar. Merasa."
Guruh menatap Cindy. Mungkin benar kata perempuan itu. Perang ini dapat dihentikan. Memahami orang lain adalah jalan menuju keselarasan. Lagipula, bukankah ia hanya berdiri di sana sebentar untuk melihat, mendengar dan merasakan kehidupan kota itu?
Suara Suami Menik dan para prajurit penyerta yang berteriak di belakangnya sama sekali tidak tertangkap telinga ketika Guruh menarik perlahan tangannya dari dinding matrix.
Bilangan-bilangan binary yang kembali masuk ke dalam tangannya pun  tidak ia perhatikan. Akan halnya semua kejadian, peristiwa dan waktu yang berlari kembali. Semua tidak disadarinya.
Senyum Cindy terlihat semakin menawan saat hanya tersisa setengah dari telapak tangannya di dinding matrix.
Laut yang bergelora. Terang dan gelap abadi. Hujan belerang. Orang-orang yang berlarian di tengah kota. Ledakan di jembatan. Tawa anak-anak sekolah menangah. Bunga yang bermekaran. Air sungai mengalir. Semua bergerak berbalik ke permulaannya.