Guruh tersenyum gembira.
"Tim yang bersamaku tadi pagi akan memasuki kota malam ini."
"Baik. Hanya kalian tidak akan dilengkapi alat komunikasi apa pun. Dan ingat kode etik para penyusup."
"Diam sampai mati saat tertangkap"
Lelaki bersorban menepuk pundak Guruh. Berharap pada orang kepercayaannya yang menolak jabatan apa pun dalam pasukan, tetapi tetap memainkan peran sebagai satu dari tiga puluh orang anggota peleton khusus untuk misi rahasia pasukan.
Malam di atas muara semakin menua. Senyap bertatih mengunjungi tiap lobang dimana para prajurit goa berlindung. Tidak ada merayan dalam tidur mereka. Merayan mereka datang saat terjaga. Merayan tentang kebebasan sebagai manusia.
Nyanyian katak dan jangkrik bersahutan. Kidung alam pengiring kunjungan arwah prajurit yang gugur dalam pertempuran hari ini kepada rekan-rekan mereka di lobang-lobang pertahanan.
Guruh, Suami Menik dan dua prajurit penyertanya telah tiba di ujung muara. Mereka kemudian berbelok ke arah kota.
"Tim kita tetap seperti pagi tadi. Mas bersama satu prajurit penyerta. Aku pun demikian. Kita turun di sisi kiri dan kanan jalan ini. Mas dan tim turun di sisi jalan sebelah kiri. Ke laut. Aku dan tim di sisi jalan sebelah kanan. Ke Rawa. Kita mulai memasang bahan peledak dari ujung jalan ini, hingga tepat di batas kota." Guruh memberi arahan.
"Mohon petunjuk tentang batas waktu."
"Isian pertama diatur pukul 08.00. Isian kedua berjarak 5 menit dengan isian pertama. Begitu seterusnya sampai isian terakhir. Berapapun isian yang bisa kita upayakan, pastikan dinamit terakhir diletakkan di batas pintu kota."