Oh, siang. Tuturkanlah pada puan pembawa pelita. Langit cerlang di atas tak butuh api penerang jalan. Pada jiwa yang rindu akan cahaya. Biarlah raga diam dalam khusuk tapa dan sunyi pitutur. Mati segala hasrat. Membusuk semua ambisi. Sampai telinga mendengar degub detak jantung dan nada bisikan angin.
Pelataran Candi Arjuna tampak terang di bawah kubah langit, saat surya mencapai puncak tirai pagi. Tetapi halimun masih menyelimuti punggung gunung di latar selatan. Embun pun ramai bertahan menggelantung di antara tegak dedaunan cemara. Dingin merasuki pori-pori. Mengundang enggan datang menemani kantuk yang masih tersisa.
Menik memegang tangan Bu Sri dan membantunya turun dari sisi kiri mobil. Kedua ibu-anak itu kemudian berjalan masuk ke arah loket penjualan tiket. Sementara Guru Bisma melipat kursi tempatnya duduk agar kedua cucunya yang duduk di barisan belakang dapat keluar dan bergabung bersamanya. Guruh dan Suami Menik turun kemudian lalu berjalan mengikuti keluarga mereka.
Di loket masuk, petugas memberikan selembar kain batik putih dengan pola polkadot. Sebenarnya tidak persis pola polkadot. Karena lingkaran yang dibentuk tetap berwarna putih. Hanya karena garis pola berwarna hitam sehingga kesan sepintas seperti polkadot putih hitam.
Menik melilitkan kain batik itu di pinggangnya. Ditautkan kedua ujungnya tepat di perut, kemudian ia berbalik menata kain pinggang Bu Sri. Keduanya lalu menyusuri jalan setapak yang dibangun dari potongan batu pipih. Hydrangea beraneka warna tumbuh di atas rumput memisahkan satu cemara dengan cemara lainnya. Mandala nan indah.
Tepat di pintu pelataran candi, putra Sulungnya berlari merapat sambil tertawa.
“Bu, rapikan kainku dong….”pintanya.
Menik tersenyum. Dipeluknya putra sulungnya. Kemudian ia menunduk dan merapikan kain pinggang sang putra. Tampak suaminya, ayahnya, adik laki-laki bungsunya dan putrinya melangkah mendekat.
“Oke, udah rapih,”suara Menik menyemangati.
“Makasih, Bu,” sang putra mengecup pipinya.
Menik membiarkan anak laki-lakinya kembali bergabung dengan rombongan ayahnya yang kini melangkah menapaki hamparan pasir dimana berdiri megah candi-candi di kompleks peradaban Arjuna. Orang menyebutnya Candi Arjuna. Namun di sana terdapat juga candi lain.
Candi Semar berdiri berdekatan dengan Candi Arjuna. Nampaknya ia adalah candi perwara, atau pengiring. Kedua candi terletak di utara, terpisah dari tiga candi lain yang berada dalam satu pelataran. Ukiran Kala Kirtimuka - tanpa rahang – menggantung, menjaga pintu masuk kedua candi. Terdapat sebuah Yoni di dalam Candi Arjuna.
Srikandi, Puntadewa dan Sembadra adalah tiga candi lain yang terletak di selatan pelataran. Ketiganya juga memiliki candi perwara. Namun sebagian besar telah runtuh menjadi tumpukan bebatuan. Semua artefak ini adalah saksi kejayaan peradaban Mataram Kuno di tanah para dewa – yang disebut dalam bahasa asali – Dihyang.
Dieng, dalam catatan Thomas Stamford Raffles, memiliki tidak kurang dari empat ratus candi. Sayang bahwa bencana alam dan penjarahan melenyapkan populasi massif sarana peribadatan itu. Kini hanya beberapa candi selain Arjuna yang dapat ditemui di ketinggian dua ribu meter di atas permukaan laut di jantung pulau Jawa. Gatotkaca, Bima, Dwarawati, Kunti dan Setyaki menjadi remedi rindu dari kisah empat ratus candi yang kini lenyap disembunyikan waktu.
“Kalau Ibu tidak berkeberatan, kami ingin mengajukan usul,” Menik membuka pembicaraan.
“Usul apa, Nduk?”
“Kami nampaknya belum bisa membeli rumah di Jakarta atau sekitarnya.”
“Tidak apa-apa, kan?”
“Juga tidak ingin menetap di kost atau apartemen.”
“Ibu setuju jika tidak tinggal di apartemen. Terlalu ramai untuk anak-anakmu.”
“Nah….itulah sebabnya Menik minta persetujuan Ibu.”
“Untuk?”, Bu Sri menaksir dengan kernyitan.
“Menik boleh gak tinggal di rumah Ibu?”
“Boleh sekali,”Bu Sri tersenyum. “Tapi tidakkah Bogor terlalu jauh?”
“Kami bisa menggunakan kereta,”senyum Menik sumringah.
“Sekolah anak-anakmu bagaimana?’
“Di dekat rumah juga gak apa-apa.”
“Nah….pekerjaanmu sendiri?”
“Aku sudah mengajukan surat ke klasis. Menunggu jawaban.”
“Tidak masalah. Kita bisa tinggal bersama meski kamu tahu bagaimana keadaan rumah kita. Sempit.”
“Itu proposal kami selanjutnya,”suara Menik bersemangat.
“Ibu pikir renovasi rumah belum mendesak.”
“Kami meminta Ibu bertukar rumah dengan kami.”
“Maksudnya Ibu dan Bapak ke Selomerto?,” suara Bu Sri meninggi.
“Ssssstt…..,”Menik meletakan telunjuk kanannya di bibir, mengiba suara ibunya tidak terdengar para pengunjung candi. “Bu, rumah di Selomerto tidak mungkin kami sewa. Apalagi dijual. Guruh pun tidak bisa keluar bekerja dari kantornya.”
“Tapi Bapakmu juga masih mengajar, Nduk.”
“Bapak sudah cukup pengabdiannya, Bu. Di sini Bapak bisa mengawasi pekerjaan anak-anak di proyek.”
“Meminta Bapakmu pensiun dini dari pekerjaannya itu terdengar aneh.”
“Tidak aneh kalau Ibu yang mengusulkan.”
“Hmmmm….kamu saja yang bicara dengan Bapak bagaimana?,”Bu Sri meragu.
“Kok aku sih, Bu?,” Menik tertawa.
“Jadi Ibu yang bicara sama Bapak?”
“Ibu diplomat sejati. Percayalah…,”Menik bermadah.
“Ya. Ibu akan bicarakan dengan Bapak.”
Menik memeluk pinggang ibunya dan tersenyum.
Suara burung bersahutan terdengar dari antara pepohonan. Lagu apa yang mereka kidungkan, tidak seorang pun tahu. Akan hari yang bertatih mengejar siang, selalu ada asa. Asa tentang hidup yang tidak pernah menyingkapkan rahasianya, kecuali kepada mereka yang tidak lelah mencari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI