Di sini akhir aliran sungai. Saat air tawar dan air laut bertemu. Di sini akhir masa. Saat yang lampau dan yang kemudian bertemu. Bercampur. Serasa payau. Setengah tawar, setengah asin. Meski begitu, keduanya berbeda. Berbeda lingkungan. Berbeda pohon. Berbeda hewan. Tak ada yang perlu disesali.
“Ibu akan baik-baik saja,”Guruh menghibur hati Bu Sri.
Bu Sri memandang wajah putra bungsunya yang tersamar cahaya purnama di belakang kepalanya. Ia mencoba menyigi. Masihkah ia ada di alam mimpi?
Guruh mencium dahi dan mengusap rambut ibunya. “Maaf, aku baru tiba malam ini, Bu.”
Bu Sri mencubit kulit tangannya. Sakit. Ini bukan mimpi. Ia memandang sekeliling. Guru Bisma, Menik, Suami Menik dan kedua cucunya duduk di ruang keluarga sambil bercakap-cakap. Ia sendiri terbaring di kursi panjang yang terletak tepat di bawah skylight ruang keluarga.
Langit penuh bintang menemani purnama gemerlap tampak jelas dari tempatnya berbaring. Menik dan suaminya dulu sempat meminta pendapatnya tentang penempatan skylight di ruang keluarga mereka. Bu Sri sendiri yang menyarankan agar gelas tembus cahaya itu di tempatkan pada bagian ujung dari atap rumah. Tepat di pojok luar ruang keluarga. Hal itu memungkinkan ruang keluarga menerima lebih banyak cahaya alami, mengurangi konsumsi listrik, sekaligus mencegah pemanasan berlebihan saat siang hari.
Sekarang ia yang berbaring tepat di bawah skylight sambil memandang langit malam yang mempesona. Ia mencoba mengangkat tubuhnya dengan bertumpu pada kedua siku. Guruh membantu ibunya bangun.
Menik berlari mendapatkan ibunya di kursi panjang dan memeluknya sambil membantunya duduk. “Ibu sudah bisa bangun?,”Menik menyigi.
“Sudah, Nduk. Ibu tidak apa-apa,”Bu Sri meyakinkan putrinya.
“Tadi pagi Dokter Budi ke sini memeriksa keadaan Ibu. Kata dokter kondisi ibu stabil. Cukup merawat memar di kepala Ibu,”Menik mengusap punggung ibunya.
Bu Sri meraba kepalanya yang masih sedikit terasa nyeri. “Dikompres air panas aja, Nduk. Biar cepat sembuh.”
“Kata dokter sih pakai es batu aja.”
“Sama saja. Air panas lebih ces pleng,” sanggah Bu Sri.
Menik tersenyum. “Berarti Ibu sudah sembuh.”
“Kenapa?”
“Karena Ibu sudah bisa berdebat.”
Bu Sri tersenyum. Memiliki anak perempuan itu anugrah bagi setiap ibu. Mereka bukan saja tempat bertukar kisah dan kesah. Mereka juga kembaran jiwa yang dapat merasa semua yang tidak terucap dan mengerti semua yang tidak dinyatakan.
“Kapan Guruh tiba?,”Bu Sri bertanya kepada putra bungsunya yang duduk di sebelah kirinya.
“Baru saja. Paling setengah jam,”jawab Guruh. “Mbak Menik menilpun aku pagi tadi. Tapi masih ada kerjaan di kantor. Baru bisa berangkat agak siang.”
‘Kamu pakai apa dari Semarang?”
“Pakai motor lah, Bu, Adanya cuma motor,”Guruh tertawa.
“Kenapa tidak naik bus? Lebih aman.”
“Nanti aku ikut-ikutan Bapak dan Ibu. Pakai acara lompat trotoar segala,” canda Guruh.
Bu Sri tersenyum.
Malam makin larut. Anak-anak Menik telah masuk ke kamar mereka masing-masing. Guruh segera bergabung dengan Guru Bisma dan Suami Menik. Sebagaimana biasanya, acara kumpul keluarga seperti ini diisi dengan berbagi kisah dan bertukar pikiran. Bercerita lewat telepon genggam bisa dilakukan kapan saja. Tetapi bersua selalu mengikat rasa. Memiliki jiwa.
“Jadi great reset itu sama dengan new world order?,” Suami Menik bertanya saat Guruh duduk kembali di sampingnya.
“Ya, sama-lah, Mas. Great reset itu new world order. Memang apa yang ditata dalam great reset? Semua kan?”
‘Semua sih. Ekonomi, militer, kesehatan, komunikasi, politik,”jawab Suami Menik.
“Termasuk pribadi dan masyarakat kan?,”tanya Guruh menegaskan.
“Iya sih.”
“Kalau semua ditata, apa bedanya dengan orde dunia baru? Semua serba baru kan?”
“Kata media bukan. Great reset itu bukan new world order.”
“Ya ampun, Mas. Masih percaya media? Media memang disiapkan untuk new world order. Proxy mereka, Mas.”
“Kita butuh bukti lebih sih,”suami Menik mencoba menurunkan tensi Guruh.
“Mas, coba deh lihat nukilan berita di laman world government summit akhir maret ini.”
“Aku sudah baca sih.”
“Apa temanya?”
“Are we ready for a new world order?”
“Lucu, Mas. Mereka sudah mengatakan dengan jelas pada kita. Tapi media membantahnya. Setting media memang demikian. Mengaburkan. Membuat tidak jelas. Jika mungkin….memanipulasi psikologi.”
Guru Bisma meluruskan kedua kakinya ke depan. Diletakannya kedua tangannya di atas lutut. Lehernya ditekan di antara kedua bahunya seraya memandangi anak dan menantunya. "Aku pikir semua yang kita dengar dahulu dari orang tua dan para guru adalah masa depan yang tidak pernah aku alami. Ternyata.....kalau ditambahkan sedikit lagi umur....aku bisa melihat masa akhir itu."
"Ya, kita berdoa saja, Pak. Selebihnya kita lakukan apa yang bisa dilakukan."
Bu Sri menyuji semua yang didengarnya di dalam hati. Tidak seorang pun tahu, apa yang selalu datang dalam mimpinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H