Membaca buku monumental ini di tahun 2020, dan membacanya ulang di tahun 2022 memberi dampak psikologis berbeda. Persis seperti gambaran Schwab-Malleret, covid19 memunculkan ketahanan mental manusia atas kesulitan. Kritik terhadap buku ini dalam bentuk catatan kaki sama persis seperti ungkapan Karl Marx terhadap para pengkritik Das Kapital. Para pengkritik hanyalah tikus yang mencoba menggigit tembok konseptual.
Kurang lebih seperti itu. Namun menyimak baik baik tiga postulat penataan akbar, rasanya ketiganya perlu direvisi. Pilihan istilah kesalingtergantungan (interdependency) nampaknya berbasis pada psikologi elit yang lebih melihat kelemahan umum. Psikologi mana membawa dampak luas saat penulis memaparkan masalah berikut usulan rekomendasinya.
Pilihan kata yang tepat semestinya kesalingterhubungan (interconnectivity) yang menampilkan potensi tiap sub bagian yang membentuk sistem. Jika postulat pertama adalah kesalingterhubungan maka bangun konsep yang berdiri di atasnya selayaknya bukan jejaring tetapi nilai sosial. Jejaring hanyalah media untuk menghubungkan potensi-potensi yang saling terpisah.
Postulat kecepatan (velocity) lebih merupakan refleksi terhadap psikologi massa perkotaan dan sejatinya adalah produk sampingan dari modernisasi. Pilihan postulat terbaik semestinya akurasi (accuracy) yang menunjukan kualitas atau kondisi yang benar. Dalam konteks dunia modern, kecepatan hanyalah metode. Akurasi adalah dasar nilai. Dunia usaha membutuhkan pengambilan keputusan cepat, tetapi tanpa informasi akurat, kecepatan justru kontraprestasi. Dalam ilmu pengetahuan, kecepatan tidak dibutuhkan. Akurasi data, akurasi analisis dan akurasi keseimpulan jauh lebih berharga.
Postulat keserbarumitan (complexity) juga tampaknya merupakan ide yang dipaksakan. Dunia modern yang ditopang oleh teknologi informasi dan kesalingterhubungan semestinya memudahkan apa yang semula rumit. Pilihan diksi konsepsional semestinya kenyamanan (convienency). Karena jika teknologi telah melakukan penetrasi atas begitu banyak ruang hidup manusia, untuk apakah makna keserbarumitan?
Jurgen Habermas (1964) dalam konstruksi teori komunikasi mengajukan konsep tentang ruang publik sebagai ruang dimana kepentingan pasar, pemerintah, dan masyarakat dapat saling bersentuhan. Konsep berusia empatpuluhan tahun ini tampak lebih mendasar dari apa yang dikemukakan Schwab-Malleret. Ruang publik memungkinkan tiap aktor memiliki peran dalam dalam apa yang kita sebut masyarakat. Tidak ada dominasi. Kesetaraan adalah kunci. Komunikasi bukan untuk menaklukan, tetapi untuk membagi pengetahuan.
Jika semua inisiasi penataan akbar Schwab-Malleret diubah postulatnya dan diletakan dalam konsepsi ruang publik Habermas, maka covid19 akan dibaca bukan sebagai bencana global, tetapi sebagai persoalan dimana tiap ruang publik memiliki wacananya. Dunia tidak membutuhkan sebuah penataan fundamental atas semua aspek kehidupan, karena masalah tiap komunitas berbeda-beda. Pengalaman orang di tengah kota Washington tidak bermakna apa-apa untuk komunitas masyarakat adat Badui yang tidak pernah menyaksikan televisi.
Karenanya, kesadaran moral, pilihan kebijakan, keputusan usaha, tidak perlu sama untuk semua bangsa. Televisi dan media telah menjadi rumah bagi apa yang disebut “sains masa” oleh peran mereka memberitakan bencana covid19 dan membentuk wacana pandemi global. Publikasi angka penderita. Ekspos jumlah kematian. Semua memenuhi ruang pemirsa setiap hari. Mulai dari televisi dan media internasional hingga lokal. Tetapi media yang sama tiba-tiba beralih di awal tahun 2022 menjadi pusat pemberitaan konflik Rusia-Ukraina. Kisah covid19 yang bermutasi dalam banyak varian seakan lenyap. Di sisi lain, para pemuda sebagai katalais perubahan melalui pemanfaatan media sosial kini mengganti gambar “saya sudah divaksin”dengan memasang "bendera Ukraina" pada akun mereka.
Ketidaktepatan pilihan postulat juga menjadi sebab dari perudungan saintis, pemecatan para dokter dan tenaga medis, serta pembredelan dan disklasifikasi. Terlalu banyak sensor yang membatasi masyarakat memperoleh informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Sains covid19 pada akhirnya adalah sains yang dipagari elitisme dan restriksi. Sama persis dengan postulat buku ini yang elitis. Bukan itu saja, sains justru ditawan oleh kepentingan politik dan komersialisasi jurnalisme.
Pada semua yang disebut Schwab-Malleret, pertanyaan yang tersisa adalah apakah covid19 adalah trigger untuk menata ulang dunia, ataukah covid19 diciptakan untuk inisasi penataan itu? Sains membutuhkan waktu untuk pembuktian postulat apapun. Selama tiga tahun, sains covid tidak berhasil menjelaskan dari mana datangnya virus, bagaimana ia bermutasi, apa perbedaannya dengan virus lain. Kecepatan (velocity) adalah penyebab dari patalogi sains covid. Karena alasan kecepatan informasi, waktu yang dibutuhkan sains untuk menyodorkan data dan kesimpulan valid diintrodusir televisi dan media. Ironis bahwa ilmu pengetahuan yang indah merunduk di bawah hingar bingar komersialisasi berita.
Televisi dan media jugalah yang mengaduk psikologi masa dengan menentukan kepada siapa mereka harus menyandarkan kepercayaan terhadap setiap informasi. Alih-alih mendapatkan kebenaran, masyarakat justru tenggelam dalam politisasi. Informasi media tidak membentuk pengetahuan. Informasi media membentuk framing dan labelling.