Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR, Syamsurizal, menegaskan bahwa penghapusan status tenaga honorer harus ditunda hingga Desember 2024. Menurutnya, pemerintah dan DPR sama-sama bertujuan untuk menghindari Pemberhentian Kerja (PHK) massal.*
"Pokoknya, kita berusaha untuk menghindari PHK massal," kata Syamsurizal seusai rapat dengan pemerintah mengenai RUU Aparatur Sipil Negara, di Gedung DPR, Jakarta, pada Senin (28/8/2023).
Nasib tenaga honorer yang diperkirakan mencapai 2,3 juta orang di seluruh Indonesia menjadi sorotan utama dalam pembahasan RUU ASN. Pembahasan RUU ini bersinergi dengan tenggat waktu penghapusan status tenaga honorer yang akan dilakukan oleh pemerintah pada 28 November 2023.
Pemerintah telah menyatakan komitmen untuk melindungi nasib jutaan tenaga honorer ini. Salah satu solusi yang dipertimbangkan adalah mengangkat mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Klausul ini diatur dalam Pasal 131 A RUU ASN.
Dalam pasal tersebut, pemerintah dan DPR berusaha untuk merestrukturisasi pegawai non-ASN dengan batas waktu maksimal hingga Desember 2024.
"Kami akan menguatkan langkah ini melalui satu pasal yang memberikan kami waktu hingga Desember 2024," tambahnya.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Abdullah Azwar Anas, menjelaskan alasan di balik penundaan penghapusan tenaga honorer pada tahun ini.
Seperti yang telah diberitakan, tenggat waktu penghapusan tenaga honorer pada 28 November 2023 sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri PANRB bernomor B/185/M.SM.02.03/2022.
Anas mengungkapkan bahwa penundaan ini berkaitan dengan pola rekrutmen pegawai, terutama di pemerintahan daerah atau pemda yang belum sepenuhnya berkualitas. Hal ini berkaitan dengan adanya siklus rekrutmen yang kurang efisien.
"Rekrutmen ASN yang kurang berkualitas, penempatan honorer yang kurang tepat, seperti honorer yang masuk melalui jaringan politik, telah merusak profesionalisme birokrasi kita," kata Anas dalam acara Town Hall Meeting BRIN, Jakarta, seperti dikutip pada Senin (11/9/2023).
Selain itu, dia menambahkan bahwa pemimpin daerah seperti bupati dan gubernur memiliki kewenangan untuk merekrut tenaga honorer, bahkan jika ada aturan yang melarang. Meskipun ada kebijakan yang melarang, pemimpin daerah seringkali menemukan cara untuk merekrut tenaga honorer.
"Bupati dan gubernur tidak dapat sepenuhnya dihentikan dari merekrut tenaga honorer. Semakin kita menghambat, semakin mereka akan mencari cara," jelas Anas.
Sebagai alternatif, Anas mengusulkan untuk memperbarui peraturan dalam UU dengan membuka rekrutmen menjadi tenaga ASN, baik PNS maupun PPPK, dengan prosedur yang lebih ketat dan berbasis kompetensi. Proses ini akan melibatkan Badan Kepegawaian Negara (BKN) atau kantor regional (kanreg-kanreg), serta persetujuan dari Kementerian atau Lembaga terkait dan sistem seleksi yang lebih ketat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H