pesantren Darul Funun El Abbasiyah Padang Japang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Syaikh Abbas Abdullah bersama kakaknya Syaikh Mustafa Abdullah adalah murid Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, ulama Nusantara yang menjadi imam dan khatib di Masjidil Haram Makkah Al Mukarramah, yang menjadi salah satu titik sumbu lahirnya ulama -- ulama Nusantara periode abad yang lalu.
Siapa ulama Minang Kabau yang sangat dihormati Ir. Soekarno? Salah satunya adalah Syaikh Abbas Abdullah, pendiri pondokBung Karno memang banyak bergaul, bersahabat, berdiskusi dan sama -- sama berjuang dengan tokoh -- tokoh Minang Kabau. Di awal -- awal kemerdekaan, Bung Karno sering terlibat diskusi, dan kadang -- kadang cukup sengit, dengan Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Haji Agus Salim, dan banyak lagi. Mereka ini berasal dari Minang Kabau.
Ayahnya Buya Hamka, Syaikh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul/Inyiak Dr) saat ditangkap dan diasingkan Belanda ke Sukabumi, lalu dipindahkan ke Jakarta, sudah dianggap ayah sendiri oleh Bung Karno. Itu karena Bung Karno kadang -- kadang datang ke tempat Inyiak Dr diasingkan untuk belajar agama dan kebangsaan. Bahkan Buya Hamka berpesan kepada Bung Karno, saat kunjungannya yang terakhir bertemu ayahnya di Jakarta, "Ayah kita, Bung."
"Jangan khawatir saudara." Jawab Bung Karno menyakinkan Buya Hamka.
Siapa Syaikh Abbas Abdullah?
Buya Hamka ketika menulis biografi ayahnya dengan judul "Ayahku; Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera", di Bab yang XIV dengan judul "Orang -- Orang di Sekelilingnya", memasukkan Syaikh Abbas dan kakaknya Syaikh Mustafa ke dalam bab itu.
Beliau digambarkan sebagai sosok ulama yang pendiam, namun keras hati dan tidak begitu ahli dalam berpidato. Itu karena keahlian utamanya adalah mengajar, dan setiap butir perkataannya, jika disimak baik -- baik, tidak satupun yang hampa.
Ketokohan dan keulamaan Syaikh Abbas sesungguhnya tidak terjadi tiba -- tiba, begitu saja. Di umurnya yang baru menginjak 13 tahun, di tahun 1896, beliau berhasil membujuk mamaknya (saudara laki -- laki ibunya) untuk membawanya ikut melaksanakan ibadah haji ke Makkah Al Mukarramah.
Tapi ketika mamaknya bersiap hendak pulang, setelah selesai menunaikan ibadah haji, Syaikh Abbas minta izin untuk tetap tinggal di sana, untuk belajar agama kepada Syaikh Ahmad Khatib dan ulama lainnya selama lebih kurang 8 tahun.
Barulah di tahun 1904, saat usianya menginjak 21 tahun, Syaikh Abbas pulang ke kampung halamannya untuk mengajar di surau ayahnya, yang kemudian dirubahnya menjadi Pesantren Sumatera Thawalib Padang Japang, setelah berdiskusi dengan beberapa ulama Minang Kabau kawannya dulu belajar di Makkah.
Pesantren itu terletak di Puncakbakuang, Jorong Padang Japang, Nagari VII Koto Talago, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, sekitar 17 kilometer dari kota Payakumbuh, ke arah Utara.
Barangkali karena merasa ilmunya belum mumpuni, sementara keinginan untuk belajar agama terus menggebu -- gebu, 17 tahun kemudian, tepatnya di tahun 1921, beliau kembali lagi ke Makkah, untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Mesir guna belajar di Universitas Al Azhar sampai tahun 1924.
Di tahun itu Syaikh Abbas kembali ke tanah air melalui Palestina, Libanon dan Syria, juga singgah di Iran dan Turki, untuk melihat dan mengamati sistem dan model pendidikan Islam di sana. Namun sebelum kembali ke Minang Kabau, Syaikh Abbas singgah terlebih dahulu ke pulau Jawa untuk bertemu beberapa ulama di sana dan melihat pesantren mereka. Syaikh Abbas juga bertemu dengan Haji Agus Salim dan beberapa tokoh bangsa terkemuka yang lain.
Ketika seluruh pesantren Sumatera Thawalib bergabung ke dalam Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) di tahun 1930, karena tidak merasa senang dengan penyatuan ini, beliau menyatakan keluar dari Sumatera Thawalib dan merubah nama pesantrennya menjadi Darul Funun El Abbasyiah, dinisbatkan kepada namanya sendiri.
Sepertinya Syaikh Abbas begitu terpengaruh dengan sistem dan model pendidikan Islam yang sudah maju dan modern di Turki. Itu karena Darul Funun, yang secara harfiyah berarti Rumah Seni/Rumah Pengetahuan, merupakan pengembangan dari model pendidikan madrasah yang pertama kali dikembangkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih, setelah menaklukkan Konstantinopel (hari ini kota itu bernama Istanbul). Darul Funun kemudian berubah menjadi Istanbul University di tahun 1933.
Pada saat terjadi Revolusi bersenjata di tahun 1945, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Syaikh Abbas menggerakkan murid -- muridnya untuk berjihad fi sabilillah. Bahkan Syaikh Abbas sendiri diangkat sebagai "Imam Jihad" oleh Majlis Islam Tinggi (MIT) kala itu yang berpusat di Bukitinggi. Majlis itu memiliki 4 resimen yang berkedudukan di Padang Panjang, Solok, Payakumbuh dan Pesisir Selatan.
Sedang madrasah yang didirikannya pernah menjadi salah satu pusat pertahanan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) selama beberapa lama. Mr Teuku Mohammad Hasan yang merupakan Wakil Ketua PDRI merangkap Mentri Dalam Negeri, Pendidikan dan Kebudayaan, sekaligus Mentri Agama, pernah menggunakan pesantren Darul Funun ini sebagai markas perjuangan. Di sinilah juga pernah diadakan pertemuan pemimpin PDRI pasca perjanjian "Roem -- Royen", saat mana terjadinya penghentian tembak -- menembak di Sumatera.
Dari ketekunan Syaikh Abbas menuntut ilmu, kepada siapa beliau belajar, juga tempat dimana beliau belajar, kegigihan dan pengorbanannya dalam melawan penjajah, dapatlah disimpulkan seperti apa sosoknya dan bagaimana posisinya di antara ulama Minang Kabau saat itu.
Ialah seorang ulama pejuang yang dalam ilmunya dan disegani kawan -- kawannya. Beliau seorang yang berfikiran maju dan revolusioner, tak gentar melakukan perubahan jika itu diperlukan, meskipun itu akan mendapat tantangan dan hampatan.
Dari sini kita mengerti mengapa tokoh besar sebagai Soekarno merasa perlu untuk mendatangai tokoh dan ulama ini, saat mana beliau sedang berada di Sumatra Barat di permulaan tahun 1942.
Â
Perjumpaan Soekarno dengan Syaikh Abbas
Pertemuan Soekarno dengan Syaikh Abbas terjadi pada saat -- saat genting akhir kekuasaan Belanda di Indonesia, pada saat mana pemerintah kolonial Hindia Belanda berada pada posisi panik, kebingungan dan kehilangan harapan, saat Jepang secara cepat dan mengesankan menduduki beberapa negara Asia Timur dan Asia Tenggara; mulai dari Korea, Tiongkok, Malaysia, Singapura hingga Indonesia.
Saat itu Soekarno sedang berada di pengasingan (Soekarno sendiri menyebutnya "pembuangan") oleh pemerintah Hindia Belanda di Bengkulu, ketika tiba -- tiba dua orang polisi Belanda dengan tergesa - gesa datang memberikan perintah, "Kemasi barang -- barang, anda akan dibawa pergi malam ini juga secara rahasia dan diam -- diam."
Dari Bengkulu Soekarno dibawa ke Muko -- Muko, dari sana perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menembus rimba belantara Sumatra menuju kota Padang sejauh 300 kilometer, dengan dikawal enam orang polisi Hindia Belanda bersenjata.
Polisi -- polisi ini mendapat perintah untuk membawa Soekarno dalam keadaan hidup ke kota Padang, untuk diasingkan ke Australia. Belanda khawatir Soekarno ditangkap tentara Jepang atau melarikan diri, yang akan membuat posisi Belanda di tanah jajahannya semakin sulit dan terjepit.
Soekarno memang sampai di Padang, setelah melewati perjalanan panjang dan melelahkan, akan tetapi suasa kota itu sudah sangat chaos, dipenuhi kepanikan, terjadinya penjarahan dan kekacauan. Para pedagang meninggalkan toko -- toko mereka. Dalam suasana begitu, Belanda memilih untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dan meninggalkan Soekarno. Dalam autobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, Soekarno berujar, "Ini adalah kesalahan besar mereka."
Dan Indonesia ditinggalkan Belanda tanpa penjagaan yang memadai. Belanda yang dulunya kejam dan pemberani itu, tiba -- tiba menjadi sangat pengecut dan kebingungan ketika bertemu dengan tentara Jepang. Itulah yang membuat tentara pendudukan Jepang dengan mudah segera dapat menggantikan posisi yang ditinggalkan Belanda itu untuk kemudian menjajah Indonesia tiga tahun lamanya. )*
Saat awal -- awal pendudukan Jepang itu, Soekarno sedang berada di Sumatera Barat lima bulan lamanya dari bulan Februari -- Juli 1942.
Soekarno rajin bertemu dengan sahabat -- sahabatnya dan  tokoh -- tokoh penting masa itu untuk merumuskan langkah -- langkah kongkrit yang harus diambil terhadap pendudukan Jepang. Apakah bekerja sama dengannya lebih baik, atau malah mengangkat senjata sekali lagi untuk menghadapi tentara Jepang.
Di antara tokoh yang Soekarno temui adalah Syaikh Abbas Abdullah di Padang Japang. Itu terjadi pada Juni 1942. Rupanya Soekarno yang datang bersama Inggit datang terlambat 2 jam dari jadwal yang sudah direncanakan. Maka Syaikh Abbas yang memiliki watak keras itu menegurnya, "Kalau bigini kau memimpin negara ini, rakyat akan kecewa, negara akan binasa." Menyadari kekeliruannya, Soekarnopun hanya diam dan tersenyum.
Pertemuan itu begitu berkesan dan penting. Itu karena pada saat itu, Syaikh Abbas yang dimintai pendapat oleh Bung Karno mengenai konsep dasar penyelenggaraan negara, jika Indonesia merdeka kelak, menitipkan pesan agar negara Indonesia yang akan didirikan itu mestilah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pesan penting inilah yang diyakini banyak pihak sebagai salah satu yang menginspirasi Soekarno untuk menyusun dasar -- dasar bernegara, yang nanti akan disampaikannya pada saat berpidato pada sidang BPUPKI (Badan Peneyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pertama terkait perumusan asas dasar negara Indonesia Merdeka. Itu terjadi pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian dikenali sebagai hari lahirnya Pancasila.
Akan tetapi pesan Syaikh Abbas tidak hanya itu, Syaikh juga berpesan agar Soekarno berhati -- hati dengan kaum komunis dan sekuler. "Merekalah yang akan menghancurkan bangsa ini." Pesan Syaikh Abbas.
Di akhir pertemuan, Syaikh Abbas menghadiahi Soekarno sebuah peci hitam dengan ukuran yang lebih tinggi dari yang telah dimiliki Soekarno sebelumnya. "Peci ini kuberikan supaya kamu menyadari bahwa bangsa ini mayoritas umat Islam." Pesan Syaikh lagi untuk Soekarno.
Soekarno memakai peci itu saat dipotret bersama dengan Syaikh Abbas, Syaikh Mustafa dan Soekarno sendiri. Photo itu, meski sudah tampak tua dan usang, masih terpampang di salah satu dinding Pesantren Darul Funun El Abbasiyah hingga kini.
Pertemuan kedua tokoh ini begitu singkat, dalam hitungan beberapa jam saja. Soekarno datang kira -- kira pukul 1 siang, lalu kembali lagi pada sore harinya. Tidak ada catatan sejarah menunjukkan ada lagi pertemuan lanjutan antara keduanya di masa -- masa mendatang.
Itu karena Soekarno, setelah pertemuan bersejarah itu, kembali ke Jakarta untuk melanjutkan perjuangan, sementara Syaikh Abbas sendiri terus melanjutkan aktifitasnya mengajar santri yang datang menuntut ilmu di pesantren miliknya bersama abangnya Syaikh Mustafa, hingga Syaikh wafat pada pada tahun 1957, dalam usia 74 tahun. Jenazah Syaikh Abbas dikebumikan di komplek pesantren Darul Funun yang didirikannya itu.
)*
Ibarat hukum karma, kelak, kondisi yang sama juga akan dialami Jepang, tiga tahun kemudian, manakala tentara sekutu yang dikomandoi Amerika Serikat mengirimkan sepasang bom atom, yang salah satunya berbobot 10.000 pon, ke dua kota penting Jepang; Hiroshima dan Nagasaki.
Kedua bom itu membunuh lebih dari 140.00 orang di kota Hiroshima dan lebih dari 80.000 orang di kota Nagasaki, yang memaksa Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.
Di dalam sekutu itu ada membonceng tentara Belanda yang berkeinginan menjajah Indonesia untuk kedua kalinya. Pada saat itu Jepang dalam kondisi sulit dan terjepit, kebingungan, ketakutan dan putus asa. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H