Barangkali karena merasa ilmunya belum mumpuni, sementara keinginan untuk belajar agama terus menggebu -- gebu, 17 tahun kemudian, tepatnya di tahun 1921, beliau kembali lagi ke Makkah, untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Mesir guna belajar di Universitas Al Azhar sampai tahun 1924.
Di tahun itu Syaikh Abbas kembali ke tanah air melalui Palestina, Libanon dan Syria, juga singgah di Iran dan Turki, untuk melihat dan mengamati sistem dan model pendidikan Islam di sana. Namun sebelum kembali ke Minang Kabau, Syaikh Abbas singgah terlebih dahulu ke pulau Jawa untuk bertemu beberapa ulama di sana dan melihat pesantren mereka. Syaikh Abbas juga bertemu dengan Haji Agus Salim dan beberapa tokoh bangsa terkemuka yang lain.
Ketika seluruh pesantren Sumatera Thawalib bergabung ke dalam Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) di tahun 1930, karena tidak merasa senang dengan penyatuan ini, beliau menyatakan keluar dari Sumatera Thawalib dan merubah nama pesantrennya menjadi Darul Funun El Abbasyiah, dinisbatkan kepada namanya sendiri.
Sepertinya Syaikh Abbas begitu terpengaruh dengan sistem dan model pendidikan Islam yang sudah maju dan modern di Turki. Itu karena Darul Funun, yang secara harfiyah berarti Rumah Seni/Rumah Pengetahuan, merupakan pengembangan dari model pendidikan madrasah yang pertama kali dikembangkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih, setelah menaklukkan Konstantinopel (hari ini kota itu bernama Istanbul). Darul Funun kemudian berubah menjadi Istanbul University di tahun 1933.
Pada saat terjadi Revolusi bersenjata di tahun 1945, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Syaikh Abbas menggerakkan murid -- muridnya untuk berjihad fi sabilillah. Bahkan Syaikh Abbas sendiri diangkat sebagai "Imam Jihad" oleh Majlis Islam Tinggi (MIT) kala itu yang berpusat di Bukitinggi. Majlis itu memiliki 4 resimen yang berkedudukan di Padang Panjang, Solok, Payakumbuh dan Pesisir Selatan.
Sedang madrasah yang didirikannya pernah menjadi salah satu pusat pertahanan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) selama beberapa lama. Mr Teuku Mohammad Hasan yang merupakan Wakil Ketua PDRI merangkap Mentri Dalam Negeri, Pendidikan dan Kebudayaan, sekaligus Mentri Agama, pernah menggunakan pesantren Darul Funun ini sebagai markas perjuangan. Di sinilah juga pernah diadakan pertemuan pemimpin PDRI pasca perjanjian "Roem -- Royen", saat mana terjadinya penghentian tembak -- menembak di Sumatera.
Dari ketekunan Syaikh Abbas menuntut ilmu, kepada siapa beliau belajar, juga tempat dimana beliau belajar, kegigihan dan pengorbanannya dalam melawan penjajah, dapatlah disimpulkan seperti apa sosoknya dan bagaimana posisinya di antara ulama Minang Kabau saat itu.
Ialah seorang ulama pejuang yang dalam ilmunya dan disegani kawan -- kawannya. Beliau seorang yang berfikiran maju dan revolusioner, tak gentar melakukan perubahan jika itu diperlukan, meskipun itu akan mendapat tantangan dan hampatan.
Dari sini kita mengerti mengapa tokoh besar sebagai Soekarno merasa perlu untuk mendatangai tokoh dan ulama ini, saat mana beliau sedang berada di Sumatra Barat di permulaan tahun 1942.
Â
Perjumpaan Soekarno dengan Syaikh Abbas