“Hmm… Di tambang itu, tidak semua orang memiliki lubang galian. Misalkan nih di tanah ini terdapat lubang yang bagus, kadar emasnya tinggi, maka lubang itu akan menjadi rebutan. Biasanya lubang itu diolah oleh beberapa kelompok. Tiap kelompok mempunyai batasan waktu tertentu, selama itu kelompok yang lain menunggu. Tapi terkadang, secara tiba-tiba ada kelompok yang baru datang dan membawa kekuatan yang lebih besar. Mereka ingin mendapatkan jatah galian dengan menyerobot antrian. ketika itulah, tak jarang darah dan luka-luka itu menjadi hal yang biasa. Hingga kematian pun bukan hal yang aneh disana”
Ontang berkata dengan menunjuk ke arah lantai, tergambar di benakku sebuah lobang dengan beberapa orang yang sibuk mengolah tanah. Hingga terbayang juga perkelahian dan mayat dengan luka bacokan senjata tajam. Aku merinding ketika membayangkan luka luka di tubuh Ontang itu masih bercucuran darah.
Mungkin itulah yang membuat Ontang bersikeras agar aku tidak bekerja di tambang. Ontang memang selalu mengajarkanku untuk berusaha dan bekerja keras, tapi ketika aku berniat bekerja di tambang. Dia melarangnya dengan sangat tegas.
“Aku sudah pernah merasakan kehidupan yang mewah, mungkin kamu tidak tahu bagaimana kekayaanku waktu dulu, karena di kampung ini, hanya keluargamu saja yang tidak pernah datang ke rumahku. Oleh karena itu, sekarang aku hanya bisa berbagi cerita saja denganmu.”
Aku tersenyum mendengar kata itu. Aku memang tidak mengetahui secara langsung kekayaan Ontang dulu. Tapi aku merasa senang bisa mendengar kisahnya. Banyak yang aku bisa ambil pelajaran dari cerita masa lalunya.
*** Bersambung
***
Sumber Gambar DISINI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H