Selesai berkata itu, Elita mengambil beberapa buku dan poster dari pegawainnya. Semuanya diletakkan dengan keras di meja yang ada di dekat pemuda gimbal itu. Nyaris sama dengan di banting.
The manis dan kuah mie instant menyiprat ke sampul buku itu. Spontan pemuda gimbal itu menyimpan gampu dan sendoknya. Elita terlihat geram, sementara Sastra dan Cerplin melihat keduanya dengan tatapan yang ketakutan. Beberapa pengunjung ada yang melihat sama persis seperti Cerplin dan Sastra. Sementara yang lainnya bahlan ada yang tak peduli, dan melanjutkan makan siangnya.
Pemuda gimbal itu kemudian berdiri. Dia mengelap bibirnya yang masih belepotan karena saus dan kecap dari mie rebus yang sedang dimakannya. Beberapa saat dia terdiam, kemudian dia menatap Elita dengan tajam. Setelah mengatur nafasnnya yang cepat itu, dia berkata dengan nada yang tegas.
"Tanpa kamu kasi tau seperti inipun, aku sudah tahu. Pasti semua juga tahu makanan yang baik ataupun tidak. Jangankan mie instan, sedangkan rokok saja yang sudah jelas buruk untuk kesehatan masih aku isap. Satu hal yang aku tau neng!... Aku lebih baik makan mie instan daripada kelaparan. Jadi gak ada urusannya denganmu, aku mau makan apa juga. Toh kamu tidak menyediakan makanan gratis buatku kan?"
Terdiam sejenak keduanya, pemuda gimbal itu menatap lebih tajam kepada Elita yang sedikit menunduk. Kemudian pemuda itu duduk kembali di tempatnya yang semula. Elita sepertinya bersiap untuk berkata lagi, namun terdengar seseorang berkata. Dia tidak berdiri, namun mengeluarkan suara tang cukup jelas. Sepertinya dia duduk tepat di bagian dudut warung itu. Delat dengan pintu masuk.
"Kalo harga ayam goreng di tempatnya sama dengan harga mie rebus sih, aku pasti akan makan ayam goreng"
Elita sepertinya mencari datangnya suara itu. Dia melirih ke kanan dan kirinya, namun tidak ada yang menandakan baru saja berkata itu. Sepertinya seseorang yang berkata itu tidak mau memperlihatkan wajahnya. Kemudian pemuda gimbal yang sudah bersiap melanjutkkan makannya itu berkata perlahan.
"Oh gitu ya? Jangan takut tersaingi Neng. Mungkin disini banyak pengunjung, tapi kan harganya murah. Kalo di tempat yang mahal dan eklusif wajar saja sepi. Kan sekali makan disana pasti sebanding dengan beberapa kali makan disini. Haha. Iya kan Sas? Jangan bengong aja. Hahaha"
Pemuda gimbal itu berkata sambil menoleh ke arah Sastra yang berdiri mematung. Sastra sebetulnya yang menjadi sasaran Elita, dengan mie rebus sebagai objeknya. Namun ternyata malah menjadi bunerang, karena pelanggannya justru membela makanan murah tersebut.
Sepertinya Elita kehabisan kata kali ini. Dia kemudian kembali lagi tanpa berpamitan, sementara para pengunjung sudah kembali lagi pada posisinya yang semula, seperti tidak ada kejadian apa-apa saja.
Di warung Sastra ini sebetulnya tidak hanya menyediakan mie instan saja, karena selain mie rebus dan mie goreng, ada juha bubur kacang dan roti isi. Nasi putih yang biasa dimakan dengan mie instan itulah yang menjadi menu utama. Selain cukup mengenyangkan pelanggan, makanan itu memang terjangkau untuk masyarakat di daerah fiksina. Disana memang mayoritas kalangan menengah ke bawah.