Jika melihat Indonesia, jumlah industri galangan kapal di Indonesia ada sekitar 250 galangan. Dari 250 galangan tersebut, sebagian besar berlokasi di wilayah Batam dan diperkirakan hanya sekitar 160 galangan yang memiliki kapasitas dalam pembangunan kapal baru. Dari populasi tersebut, hanya sekitar 6 galangan yang memiliki kemampuan memproduksi kapal dengan ukuran besar (10.000-50.000 DWT). Tidak semua galangan di Indonesia mampu dan berpengalaman dalam membangun kapal perang. Galangan kapal perang tidak bisa disamakan dengan galangan kapal lainnya/kapal niaga. Hal ini karena galangan kapal perang harus memenuhi standar infrastruktur yang mendukung pembangunan kapal perang yang dilengkapi dengan sensor, weapon & command control (Sewaco).
Untuk pembangunan kapal selam, di Indonesia saat ini hanya galangan PT PAL Indonesia yang memiliki fasilitas produksi dan pemeliharaan kapal selam. Fasilitas kapal selam ini merupakan fasilitas yang dibiayai oleh APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN).
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa kapasitas galangan kapal nasional saat ini masih sangat kecil khususnya untuk pembangunan kapal baru dengan ukuran besar.
Pentingnya Penguasaan Teknologi Pertahanan
Anggaran menjadi penyebab utama masih lemahnya pertahanan dan keamanan di Indonesia. Anggaran pertahanan Indonesia sampai saat ini masih dibawah 2% dari PDB. Menurut beberapa ahli anggaran pertahanan yang ideal untuk Indonesia ada di angka 1,8% - 2,0%. Selain nilai anggaran, perlu dilihat juga komposisi alokasi anggarannya. Mengutip Boston Consulting Group (BCG) tahun 2021, komposisi anggaran pertahanan Indonesia sebagain besar dialokasikan untuk belanja pegawai sebesar 62%, studi pertahanan/R&D 14%, dan 24% untuk modernisasi Alutsista dan Pemeliharaan.
Penguatan pertahanan dan keamanan melalui modernisasi Alutsista penting dilakukan. Modernisasi harus memiliki arah dan roadmap jangka panjang yang jelas dan tidak berubah-ubah. Salah satunya terkait penentuan spek teknis dan strategic partner. Pemerintah harus meng-"kontrak" strategic partner dalam jangka waktu yang diperlukan untuk diserap teknologinya. Penguasaan teknologi pertahanan memerlukan waktu yang lama bersamaan dengan durasi pekerjaan proyek. Transfer of Technology (ToT) yang diberikan oleh strategic partner merupakan proses paling efektif dalam penguasaan teknologi. Sebagai contoh, Turki dan Korea Selatan adalah negara yang berhasil menguasai teknologi kapal selam bekerjasama dengan Thyssenkrupp Marine Systems (TKMS), Jerman. Kunci keberhasilan Turki dan Korea Selatan adalah kepastian kontrak dan strategic partner jangka panjang. Turki berhasil menguasai teknologi kapal selam bekerjasama dengan TKMS setelah memproduksi 20 unit kapal selam. Sedangkan, Korea Selatan berhasil menguasai teknologi kapal selam dengan TKSM setelah memproduks 18 unit kapal selam. Artinya, pengadaan Alutsista harus ada continuity.
Â
Apa Yang Perlu Dilakukan?
Hegemoni Cina di LCS tidak bisa dihindari. Sebagai non-claimant states, Indonesia perlu fokus menjaga Laut Natuna Utara dari ancaman kedaulatan negara lain. Menanggapi hal tersebut, perlu disiapkan langkah-langkah strategis agar kepentingan nasional Indonesia di LCS tidak terganggu.
Pertama, memperkuat pertahanan dan keamanan di laut khususnya di Laut Natuna Utara. Meningkatkan anggaran pertahanan khususnya untuk modernisasi Alutsista dan biaya operasional/patroli TNI AL penting dilakukan. Penguasaan teknologi pertahanan adalah hal penting dan dan bersifat fundamental sehingga perencanaan dan roadmap jangka panjang harus menjadi perhatian serius. Arah penguasaan teknologi pertahanan kedepan serta penentuan strategic partner selaku pemilik teknologi harus disiapkan dengan matang. Selain itu, Bakamla sebagai Indonesian Coast Guard harus mendapat dukungan dan segera diputuskan agar tidak ada ketimpangan dan tumpang tindih dalam hal kewenangan penegakan hukum di laut.