Mohon tunggu...
Rona Riyya Rifqi
Rona Riyya Rifqi Mohon Tunggu... -

menuai karya dan prestasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mawar Gadis

16 Mei 2015   05:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:56 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana rasa itu bermula, aku masih belum tahu pasti. Tapi itu nyata dan aku sungguh menikmati penantian ini, penantian akan sesuatu yang bisa dikatakan tak berujung dan tak pasti, senyum itulah yang memberiku kekuatan, senyum itulah yang membuatku tak bisa beranjak pergi, senyum itu.. senyum itulah yang membuatku yakin akan adanya cinta.

Selamat pagi hidup, terimakasih karena masih memberiku kesempatan untuk menatapnya. Aku mematut diri didepan kaca, hari ini hari perpisahan masa SMU kami. Masih jelas dalam benakku bagaimana ia berbicara dengan cerianya, mata bercahaya dan jahil itu, selalu membuat hari-hariku penuh semangat dan bahagia. Bagiku perpisahan ini bukan hanya sekedar acara jabat tangan dan salam perpisahan, tapi lebih dari itu aku harus mencoba berdamai dengan hatiku untuk merelakan Gadis jauh. Impiannya untuk menjadi seorang pianis lebih besar dari pada “sekedar” rasa ini.

Sebuah rasa dan penantian tak berujung yang telah lama kusimpan baik-baik,tanpa membiarkan siapapun tahu, termasuk Gadis. Biar ini menjadi rasa yang terpenjara dalam diam, dalam bisu. Memang aneh, cinta bisa menciptakan rasa sakit yang membuat kita tak jera, bahkan bisa membuat ketagihan, layaknya nikotin. Gadis memang sudah seperti nikotin bagiku, ia bisa membuatku tertawa dan menangis sekaligus,Mataku sedikit berkaca-kaca lagi, kutengadahkan kepala. Tidak! Hari ini aku harus tetap terlihat bahagia.ku kebaskan setelan jasku dan meyakinkan diri bahwa aku pasti bisa mengatasi gemuruh ini.

∞∞

“Galaaaaangggg!!!” panggilan itu membuatku menoleh, dan seketika mematung diri. Pagi ini ia terlihat begitu anggun, dengan kebaya hijau tosca sederhana nan indah sangat pas ditubuhnya, begitu manis. Bagaimana bisa aku akan melupakan gadis indah ini. Hatiku mencelos,

“gadis, tadi kesini bareng sama siapa?” aku selalu dan seeelalu berusaha bertingkah wajar meski hatiku selalu berdesir hebat saat senyum dan mata itu menusuk mataku.

“Galang aku cantik nggak??? Cantik kan? cantik kaaannn???”

Ia tak menjawab, sibuk berputar-putar ceria didepanku, memamerkan dandanannya.

“apasih dis? Udah kaya biasanya aja ” jawabku datar dan mengambil langkah masuk kedalam gedung, di belakang ia terdengar menghentakan highheelsnya, tampak sebal dengan responku, aku tersenyum seraya mengusap dadaku yang bergetar, kau masih tetap seperti biasanya gadis, tetap manis dan selalu membuatku kagum, dan sepertinya akan tetap seperti ini. Mataku terpejam sesaat untuk menenangkan getar hati.

Mataku menerawang, aku ingin mengulang kisah 3 tahun sebelum ini, mengulang debar-debar bahagia yang terkadang membuat perutku geli itu, dan ingin berkali-kali membuat masa itu kembali lagi.

∞∞

Hari ini panas, mungkin aku bisa menyebutnya seperti panas kota Jakarta dan Surabaya, atau yaa boleh lah bila ada kota yang lebih panas dari keduanya. Ini tidak berlebihan karena ketika aku berjalan ditengah lapangan seperti ini rasa-rasanya matahari bisa melelehkan otakku.. tapi tunggu, sudut mataku menangkap seseorang yang bisa menyejukkan hari panas ini, seorang gadis yang berbicara dengan penuh semangat dalam tawa cerianya, begitu manis dan natural dengan sedikit peluh di pelipisnya, ia masih mengenakan seragam olah raganya, beberapa rambut yang dikuncir kuda terjuntai berantakan namun tetap indah, dia indah.. benar-benar indah, tawanya mengundangku untuk ikut tersenyum bahagia dan untuk pertama kalinya tak bisa membuatku berpaling untuk tidak menatap gadis ini. Pertama kalinya hatiku berdesir lembut, sampai perutku terasa mulas, aku menikmati rasa yang menurutku asing ini, debar yang.. entahlah.

Ia berjalan melewatiku, bau bedak bayi mengumbar, tertangkap panca indraku. Kami bertatap sekilas, ia lebih lebih dan lebiiih manis jika dilihat dari dekat, mata bulat dan penuh semangat terpancar jelas dari bola mata hitamnya, bibir mungil dan kemerahan menambah paras ayunya, kulit putih dan kemerahan karena matahari membuatnya terlihat lucu dengan senyum indah nan menyejukkan. Nafasku tertahan beberapa detik, saat mata itu sekilas menusuk ku.

“gadiiiss! Tungguiiin..” teriak seseorang dibelakang, ku pikir temannya karena gadis itu seketika menoleh, ia tak berhenti, tapi malah berlari menjauh, seraya menjulurkan lidahnya,menggoda temannya. Aku tersenyum, ternyata namanya gadis..

∞∞

Untuk pertama kalinya kakiku melangkah dengan ringan untuk mengantar koran, tidak perlu membuat adik perempuanku sebal karena membangunkanku, ibuku berjualan nasi pecel setiap pagi untuk membiayai sekolah kami, ayah sudah 5 tahun lalu meninggal karena penyakit livernya. Aku sendiri harus membantu ibu mengantarkan koran setiap sebelum shubuh, dan langsung bersiap untuk sekolah. Yang jelas bagiku hari-hari selalu menyenangkan dan penuh semangat sejak menatap gadis itu, laksana vitamin atau nutrisi hidup, mungkin sedikit berlebihan, baiklah. Tapi ini sungguh nyata.

Untuk pertama kalinya aku menemukan semangat di pagi hari, menatap dunia dengan pandangan berbeda, untuk pertama kalinya juga menyadari bahwa dunia lebih indah dan menyenangkan ketika dihati bersemi sesuatu yang biasanya disebut cinta. Iya, aku sadar.. aku sadar dengan betul bahwa rasa ini cinta, sadar dengan betul bahwa cinta ini membuatku untuk tetap tersenyum dan bahagia meski di bus ramai, jalanan macet, dan akhirnya terlambat, mendapat ceramah dari tatib. Aku tetap bahagia, karena aku memang sengaja terlambat agar bisa bertemu dengan Gadis. Hehe.

Aku masih belum tahu kenapa gadis itu selalu datang terlambat ke sekolah, yang jelas aku memang sengaja menunggu bus yang sama dengan Gadis, menunggunya berlari sambil berteriak penuh semangat “pak kenek, tungguin gadiiss!!” sesekali tangannya menggapai, aku segera berlari masuk bus dan menerima tangannya, menariknya masuk dan membiarkannnya berdiri didepan ku. Seperti biasa, hatiku bergemuruh lagi, menyentuh tangannya yang lembut membuat perutku mulas, bukan karena sakit tapi memang ada sensasi berbeda saat kita dekat dengan orang yang kita sayangi. Oh entah, aku mungkin memang sudah menggilai gadis ini, bau bedak bayi mengumbar, memanjakan indraku, aku tersenyum.

Ia menoleh, menatapku penuh selidik, aku yang memang sedari tadi mengamatinya dari belakang tergagap, salah tingkah.

“eh kamu lagi.. kita kan satu sekolah yaa, siapa namamu??” ia menjulurkan tangannya padaku, dengan senyum itu, dengan tatapannya itu.. aku sungguh ingin berteriak bahagia saat itu juga. Tempatnya sangat sempit sehingga untuk menjulurkan tangan harus bersusah payah, mungkin ia baru sadar bahwa beberapa minggu ini selalu ada aku di belakangnya, dan akulah yang belakangan ini selalu menangkap tangannya saat menggapai pintu bus.

Aku tersenyum “ehm, Raditya Galang, panggil aja Galang” ucapku ditengah gemuruh hati, berusaha keras menetralkan sikap, aku akan terlihat konyol bila memperlihatkan kegembiraanku. Tapi tampaknya ia tidak terlalu menyadari tanganku begitu dingin, meski ia belum melepasnya, syukurlah.

“ooh hai Galang! Aku Gadis,” ia masih dengan senyumnya, tapi kali ini melepas jabatannya, dan melanjutkan “sepertinya kelas kita bersebelahan ya? Ipa2 kan? Aku Ipa1 Galang.. “

“hehe.. i-iya, kelas kita bersebelahan, “ jawabku sekenanya, ya Tuhan tolong aku.. biarkan hati ini berhenti berdetak lebay, aku hanya ingin bersikap wajar didepannya, pintaku membatin. Kelasnya memang bersebelahan dengan kelasku,

“Galang kita kayaknya sering telat bareng ya? Rumahmu dimana? Jauh ya??” tanyanya ingin tahu,

Aku sedikit gelagapan, tapi segera menguasai diri “iya.. rumahku memang sedikit jauh, Jl.Pattimura blok M, hehe”

“loh? Kok sama?? Berati kita tetanggaan dong?” matanya bercahaya saat mengatakan itu, aku juga sedikit terperanjat, kaget bercampur senang dengan satu kenyataan ini.

“masa sih?? Rumah kamu nomor berapa?”

Obrolan kami terus berlanjut hingga kami tiba di sekolah, seperti biasa setelah mendapat ceramah dari tatib kami berpisah begitu sampai di dekat kelas, ia melambaikan tangan dengan ceria kearahku.

Sungguh kali ini aku benar-benar bahagia, bahagia yang tak bisa di jelaskan dengan ‘sekedar’ kata-kata, bahagia yang amat membuncah, didepan kelas aku berhenti sejenak, mengepalkan tangan dan mukul angin keatas “yesss!! Terimakasih tuhaann..” ucapku tertahan.

Hari ini aku menemukan sebuah fakta bahwa rumah gadis tak jauh dari rumahku, hanya berjarak kurang lebih 100 meter, terpisah oleh 6 rumah, anehnya lagi Gadis adalah salah satu pelanggan setia pecel ibuku. Baiklah, ternyata selama ini aku hanya tidak menyadari bahwa gadis ada disekitarku, Tuhan memang memiliki rencana tersendiri untuk mengatur agar hidup lebih menarik dan penuh kejutan.

Sejak hari perkenalan singkat kami di bus, gadis memutuskan untuk berangkat sekolah bersama, tapi kali ini kami tidak pernah berurusan dengan tatib dan mendengar ceramah pagi karena telat lagi. Aku akan menjemputnya di pagi hari, memaksanya bangun lebih awal. pagiku bertambah cerah, hari-hariku bertambah ceria, aku sungguh bahagia dengan rasa ini, meski ia tidak perlu tahu hatiku, dan aku tidak akan pernah membiarkan Gadis tahu. Karena dengan begini saja sudah lebih dari cukup bagiku. Aku cukup bahagia dengan tetap bisa menatap senyumnya, aku sudah cukup bersyukur bisa menjadi seseorang yang dibutuhkan dan berarti bagi gadis. Aku merasa kata ‘sahabat’ lebih baik daripada harus membuatnya canggung dengan egoku atas perasaan yang belum tentu berbalas ini, aku hanya tidak ingin kehilangan dia, sudah Tuhan cukup.

Ada satu kebiasaanku yang bisa membantu mewakili perasaanku pada Gadis, setiap sabtu malam aku meletakan mawar tepat didepan rumahnya, sehingga pada minggu pagi ia akan langsung menerimanya, dengan sebait kalimat indah.

“selamat pagi Gadisku, terimakasih karena kau masih disini”

Gadis adalah tipe gadis yang tidak begitu memikirkan hal-hal yang dirasanya tidak penting, ia hanya ingin fokus pada keinginannya untuk menjadi pianis. Sebenarnya tidak sedikit lelaki yang mengejarnya, tapi ia selalu menganggap bahwa semua adalah teman, ia belum siap untuk memiliki ‘teman lelaki’ dan salah satu alasan yang bisa membuatku merinding adalah “aku sudah cukup bahagia punya sahabat yang selaluuu merubahku menjadi gadis yang lebih baik Galang, aku juga ngga pingin kamu nanti merasa terbengkalai kalo aku udah punya pacar hehe” ia terkekeh. Sungguh kalimatnya memberikan efek luar biasa pada hatiku, meski ia mungkin tidak menyadari perubahan mimik wajahku.Dibalik sifat slengekannya Ia adalah gadis yang berprinsip kuat, energik dan penuh semangat. Semakin dalam aku mengenal sosoknya, aku tidak hanya mencintai dan menyayanginya, lebih dari itu aku sangat mengaguminya.

Minggu pagi adalah jadwal kami jogging disekitar komplek, setelah merasa letih kami akan singgah di taman seraya membincangkan hal-hal baru disekitar kami, Gadis juga tak lupa menyelipkan rasa penasarannya tentang kiriman mawar yang ia dapat tiap minggu itu, apalagi saat hari ulang tahunnya, halamannya akan dipenuhi oleh bunga-bunga mawar yang segar nan indah.

“heran deh lang, aku tuh sampe sekarang masih belum tahu siapa pengirimnyaa..” ucapnya disela kunyahan twist yang kami beli didepan komplek tadi “padalah aku udah diem-diem ngecek sebelum shubuh, setiaaap hari minggu” lanjutnya, lalu ia memenuhi mulutnya dengan twist yang tersisa.

Aku hanya diam mendengar ocehan demi ocehan yang keluar dari bibir manisnya sambil tersenyum, iyalah dis.. aku kan naronya malem. Terimakasih sudah disini, bersamaku..

∞∞

Lamunanku kembali..

Satu persatu nama-nama telah disebut, hingga acara yang terakhir yakni sasmbutan dari beberapa tokoh, yang berisi petuah-petuah untuk terus melanjutkan prestasi dan perjuangan-perjuangan kami.

Mataku menangkap Gadis yang masih sibuk berfoto dengan teman-teman nya di barisan kelas sebelah, ia tak tampak sedih, karena impiannya tinggal selangkah lagi. Sejak SMP ia sudah berlatih keras menjadi pianis terkenal, ia ingin meneruskan perjuangan ibunya untuk mengharumkan nama Bangsa, sesekali aku menemaninya berlatih, dan aku tidak pernah bosan karena ia mampu menciptakan nada-nada indah lewat barisan nuts piano, tangannya begitu lihai menari diatasnya. Dadaku berdebar tak karuan saat itu, tapi bersamaan dengan itu hatiku damai melihat Gadis menikmati saat-saat dimana ia memainkan piano,

Suatu kali kutanya mengapa ia terlihat begitu damai dan sangat menikmati ketika memainkan piano, ia menjelaskan dengan mata berbinar “karena saat nuts mulai kutekan dan muncul nada-nada, aku merasa ibulah yang menuntunku, aku merasa ibu ada bersamaku lang” sedetik kemudian air matanya meleleh.

“hei!!” sebuah tangan menepuk pundakku, ternyata Izar. Aku menoleh seraya menaikan alis.

“besok lo check up kan? Bokap gue minta salamin ke lo, buat terus semangat, penyakit itu harus dilawan dengan semangat bro!”

Aku hanya tersenyum menanggapi, dan kembali menerawang. Sudah 2 tahun ini hidupku bergantung dengan obat. Aku positif mengidap kanker hati, tidak ada yang tahu penyakitku, bahkan ibu, adik perempuanku dan Gadis. Aku memejamkan mata pasrah, kali ini biar tuhan yang menentukan, aku lelah. Aku lelah melawan penyakit ini, aku lelah dengan harapan-harapan dokter yang sudah kutahu dengan benar itu hanya untuk membesarkan hatiku, penyakit ini tak bisa disembuhkan tanpa transplantasi. Aku hanya ingin beristirahat, bukan menyerah..

∞∞

Hari ini sudah genap 4 bulan sejak kepergian Gadis ke Jerman, ia menjadi pianis terkenal disana, dan aku disini hanya menjadi seseorang yang hanya bisa berbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Ibuku menangis histeris ketika tahu penyakitku, kejadian itu bermula setelah aku mengantar Gadis ke bandara, begitu sampai di depan rumah tubuhku melemas dan ambruk, semua gelap. Suara terakhir yang ku dengar adalah teriakan adik dan ibuku.

Aku tetap melarang ibu memberitahukan Gadis tentang kondisiku, dan masih tetap mengiriminya mawar setiap bulan 2 kali. Lewat perantara Ratih, adikku. Aku tidak peduli berapapun biaya pengiriman sepucuk mawar ke Jerman, bagiku itu adalah pesan kepadanya bahwa ia akan selalu baik-baik saja meski aku disini. Aku akan selalu menemaninya lewat bayang semuku. Sampai mataku tak pernah terbuka lagi, sampai hari itu ia tersadar bahwa pengirim mawar itu adalah aku, Galang. Sahabatnya..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun