Mohon tunggu...
Ronald Rofiandri
Ronald Rofiandri Mohon Tunggu... -

Agency & Researcher

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menentukan Prioritas Legislasi

6 Desember 2010   00:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:59 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Perlu Ada Prioritas?

Pemerintah dan DPR memerlukan suatu daftar prioritas dalam penyusunan legislasi. Hal ini disebabkan oleh pelbagai keterbatasan yang dimiliki, yaitu keterbatasan sumber daya manusia, anggaran, dan waktu, dibanding dengan kompleksitasnya persoalan yang harus dihadapi. Apalagi bagi Indonesia yang berada di tengah masa transisi dari rejim otoritarian menuju demokrasi.

Pada masa transisi ini, banyak hal negatif di masa lalu yang harus dipecahkan maupun dicegah agar tidak terjadi lagi. Begitu pula, banyak perubahan institusional dan prosedur ketatanegaraan dan pemerintahan yang harus dilakukan. Dan semua perubahan ini kebanyakan harus dilakukan melalui Undang-Undang (UU). Misalnya saja pembentukan komisi-komisi independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), dan lain-lain, yang harus dibuat dalam bentuk UU untuk memastikan pelaksanaannya, termasuk dalam hal pembiayaan dan kewenangannya.

Prioritas juga berguna dalam menentukan arah kebijakan negara karena dalam proses menentukan prioritas itu akan ada proses pemilahan dan pemilihan. Untuk mendapatkan daftar prioritas yang dapat secara baik menggambarkan program atau arah kebijakan negara, dibutuhkan parameter penentu prioritas.

Prioritas juga dapat digunakan sebagai alat ukur atau parameter dalam menilai kinerja pembuat UU (DPR dan Pemerintah).

Bagaimana Praktek Pembuatan Prioritas Legislasi di Indonesia?

Prioritas RUU di Indonesia dituangkan dalam bentuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dasar hukumnya adalah Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada periode sebelumnya, 1999-2004, dasar hukumnya adalah Ketetapan MPR-RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan negara (GBHN) Tahun 1999-2004: untuk menata sistem hukum nasional, perlu ada program legislasi, dituangkan dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas). Propenas kemudian dituangkan dalam bentuk Prolegnas.

Hasil studi Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) yang dipublikasikan pada September 2003 mengungkapkan adanya lima masalah dalam penentuan prioritas legislasi sampai dengan 2003, yaitu:

1. Tidak ada metode yang jelas dalam menyusun prioritas;

2. Inkonsistensi dalam menentukan prioritas;

3. Sebenarnya tidak ada urutan prioritas, yang ada hanyalah daftar RUU;

4. Koordinasi antara Pemerintah dengan DPR kurang baik; dan

5. Prolegnas tidak mengikat.

Selain itu, disimpulkan pula adanya dua kelompok faktor yang berpengaruh dalam penyusunan prioritas legislasi. Pertama, kelompok faktor kepentingan modal dan kekuasaan, yang terdiri dari (i) Tekanan Internasional (Negara dan Organisasi Internasional); (ii) Dukungan Finansial Domestik dan Internasional (sponsorship); dan (iii) Kepentingan Politik Praktis Menjelang Pemilu 2004. Kedua, faktor dalam hal kinerja DPR.

Dalam UU No. 10 Tahun 2004, pembuatan Prolegnas masuk dalam tahap "perencanaan". Pembuatan Prolegnas dikoordinasikan oleh Badan Legislasi (Baleg). Prosesnya diatur dalam Pasal 16 UU No. 10 Tahun 2004 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.

Dalam masukan PSHK yang disampaikan kepada Baleg pada 11 November 2004, ketika DPR dan pemerintah pertama kali mengimplementasikan ketentuan mengenai Prolegnas dalam UU No. 10 Tahun 2004, ada beberapa rekomendasi yang disampaikan. PSHK menyoroti kelemahan dalam penyusunan prioritas selama ini. Salah satunya adalah ketiadaan parameter yang jelas dalam menentukan UU mana yang akan dijadikan prioritas. Penyebabnya antara lain adalah prosesnya yang lebih banyak diwarnai oleh daftar topik tanpa penjelasan mengenai masalah yang ada, signifikansi dan urgensi, pokok-pokok pengaturan, serta ruang lingkup peraturan. Prosedurnya pun biasanya berupa pengumpulan daftar usulan tanpa pembahasan. Selanjutnya dalam masukan tertulis tersebut, PSHK menyampaikan rekomendasi konkrit mengenai proses penyusunan Prolegnas, meliputi:

a. Harus ada visi dan metode yang jelas dalam menyusun prioritas legislasi;

b. Harus ada pelibatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

c. Prolegnas harus disusun secara partisipatif dan dikerjakan dalam waktu yang cukup; dan

d. Harus ada proses evaluasi dalam proses penyusunan Prolegnas.

Sedangkan rekomendasi sehubungan dengan implementasi penyusunan Prolegnas mencakup tiga butir, yaitu:

a. Harus ada mekanisme evaluasi tahunan;

b. Pembahasan harus dilakukan secara konsisten; dan

c. Perlunya koordinasi antara DPR, Pemerintah, dan DPD

Perpres No. 61 Tahun 2005 sudah mengatur sebagian dari rekomendasi di atas. Misalnya saja, masukan mengenai perlunya membahas muatan RUU daripada sekadar judulnya. Pasal 4 Perpres tersebut mengatur bahwa Prolegnas memuat program pembentukan UU dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya dimuat sebagai penjelasan secara lengkap mengenai konsep RUU yang meliputi:

a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;

b. Sasaran yang akan diwujudkan;

c. Pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan

d. Jangkauan dan arah pengaturan.

Begitu pula halnya dengan mekanisme evaluasi, juga sudah diatur dalam Perpres No. 61 Tahun 2005. Namun sayangnya, penentuan parameter dan mekanisme partisipasi dalam penentuan prioritas tidak masuk dalam Perpres tersebut.

Kriteria Menentukan Prioritas

Prioritas merupakan persoalan politik, bukan semata-mata persoalan teknis. Prioritas yang dipilih menunjukkan tingkat kepekaan politik (political sensibility)anggota legislatif. Political sensibility adalah tingkat kepekaan anggota legislatif dalam melihat persoalan yang ada dalam masyarakat dan diwujudkan dalam bentuk kebijakan di bidang legislasi.

Menentukan prioritas bukan soal mudah. Hal ini terkait dengan pertimbangan ekonomi, sosial, dan politik, di mana masing-masing unsur tersebut saling tarik-menarik kepentingan untuk memengaruhi kebijakan yang diambil oleh pembentuk peraturan.

Keputusan penentuan prioritas harus berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat, meski tetap dibatasi dengan kriteria:

1. Adanya amanat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan lain yang terkait, serta putusan pengadilan (terutama Mahkamah Konstitusi) yang terkait dengan RUU;

2. Adanya manfaat sosial yang paling besar yang ingin dicapai;

3. Dampak sosial yang akan ditimbulkan;

4. Kapasitas: sumber daya manusia, keuangan, dan lain-lain; dan

5. Tingkat kesulitan dari penyusunan rancangan peraturan.

Adakah Kriteria Prioritas Selama Ini?

Sebagaimana diungkapkan di atas, studi PSHK pada 2003 menyimpulkan tidak adanya batasan obyektif dalam menentukan prioritas. Penentuan prioritas cenderung didasarkan pada penilaian subyektif, intuisi, maupun kepentingan. Bahkan bisa terjadi anggota legislatif "menjual" rancangan peraturan perundang-undangan kepada kelompok berpengaruh yang mempunyai kepentingan tertentu.

Kecenderungan buruk yang terjadi pada 2003 dan sebelumnya itu, tentunya kita harapkan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Daftar Pertanyaan yang Diajukan dalam Menentukan Prioritas

1. Apa masalah sosial yang akan diatasi? Apa pokok pengaturannya? (jangan hanya melihat judul RUU, agar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya)

2. Siapa yang mengajukan? Apa alasannya untuk mengajukan RUU tersebut? Apakah sudah ada aturannya namun tidak memadai dengan perkembangan saat ini? Atau apakah perlu ada pengaturan karena ada putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung yang mengharuskannya? Atau apakah ada komitmen perjanjian internasional yang mengharuskannya?

3. Bagaimana kondisi riil yang ada dan pengaturan hukum saat ini yang mengatur masalah tersebut? Adakah pilihan lainnya untuk menyelesaikan masalah sosial yang dimaksud?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun