Pada tahun 1999, terjadi satu peristiwa kelam di Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat, yakni kerusuhan yang melibatkan Suku Madura dan Melayu. Kejadian ini memunculkan rasa ketakutan dan trauma yang mendalam tidak hanya bagi mereka yang terlibat langsung, tetapi juga bagi masyarakat yang menjadi saksi bisu peristiwa tersebut. Artikel ini mencoba menggali lebih dalam tentang latar belakang dan kronologi kerusuhan yang terjadi, dampak bagi masyarakat setempat, dan upaya perdamaian yang dilakukan. Â
Latar Belakang Â
Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki keanekaragaman etnis yang sangat tinggi. Masyarakat di wilayah ini berasal dari berbagai etnis seperti Dayak, Melayu, Tionghoa, Madura, dan lain-lain. Agama yang dianut oleh Masyarakat Kalimantan Barat juga banyak seperti Islam, Konghucu, Kristen, dan lain-lain. Â
Keanekaragaman tersebut tentu saja juga berdampak negatif karena sering terjadi konflik di daerah tersebut. Menurut Zakso (2006), masyarakat Kalimantan Barat terdiri dari berbagai etnis yang hidup berdampingan, namun hal ini tidak selalu berjalan mulus. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia secara umum, kurangnya kesadaran terhadap kemajemukan sering menjadi pemicu konflik sosial antara berbagai kelompok etnis. Â Â
Alhasil, banyak konflik yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat, salah satunya di Kabupaten Sambas. Berikut beberapa penyebab dari konflik Sambas: Â
1.Kebijakan Transmigrasi Orde Baru Era Soeharto Â
Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, terdapat salah satu kebijakan yang bernama "Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)". REPELITA adalah program yang dirancang untuk meningkatkan infrastruktur di Indonesia, salah satu cara untuk menyukseskan program ini adalah melalui transmigrasi. Â Â
Kebijakan Transmigrasi ini diwujudkan dengan migrasi besar-besaran penduduk yang berasal dari daerah yang padat seperti Jawa dan Sumatera menuju daerah yang sepi penduduk. Suku Madura adalah salah satu penduduk yang mengikuti kebijakan ini, mereka bermigrasi menuju daerah-daerah lain dan salah satunya adalah Provinsi Kalimantan Barat. Â Â
Banyak orang Madura yang berbondong-bondong datang dan menetap di Kalimantan Barat. Hal ini secara tidak langsung membuat Suku Dayak dan Melayu selaku penduduk asli merasa tersisihkan, hal ini tentu saja menumbuhkan bibit kebencian dari penduduk asli kepada pendatang dari Madura. Ditambah dengan beberapa perseteruan antar warga lokal dengan pendatang Madura semakin menambah kebencian warga lokal terhadap para pendatang Madura. Â
2.Insiden Yang Memicu Kekerasan  Â
Salah satu insiden yang memicu kerusuhan adalah peristiwa penganiayaan terhadap Hasan bin Niyam, seorang warga Madura di Desa Sari Makmur Kecamatan Tebas pada 17 Januari 1999. Penganiayaan ini kemudian memicu respon dari warga Madura yang membawa senjata tajam seperti celurit dan golok ke Desa Parit Setia. Masyarakat Melayu yang merasa terancam oleh aksi ini akhirnya merespons dengan perlawanan dan ini memicu eskalasi kekerasan yang lebih besar. Â
3.Ketegangan Sosial Antar Etnis Â
Ketegangan antara etnis Madura dan Melayu di Kalimantan Barat sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Masyarakat Madura dan Melayu memiliki hubungan yang kompleks dan saling berkompetisi dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Ketegangan sosial ini sering dipicu oleh perbedaan dalam stratifikasi sosial dan akses terhadap sumber daya seperti tanah, pekerjaan, dan kekuasaan. Masyarakat Madura dan Melayu saling bersaing dalam memperebutkan posisi yang dianggap layak dalam masyarakat. Ketegangan ini meskipun tidak selalu terbuka, berpotensi memicu konflik jika terjadi insiden yang memperburuk hubungan antar kelompok etnis tersebut. Â
Melalui beberapa alasan tersebut, dapat diketahui bahwa hubungan antara Suku Dayak dan Melayu dengan Suku Madura itu sangat buruk, insiden-insiden dan perseteruan yang terjadi pada akhirnya memicu konflik yang lebih besar dan kita kenal sebagai "Konflik Sambas 1999". Berikut adalah kronologi bagaimana konflik Sambas terjadi. Â
Kronologi Â
Sebelum konflik besar meletus pada tahun 1999, hubungan antara suku Madura dan Melayu di Kabupaten Sambas sudah mengalami ketegangan yang cukup lama. Kedua kelompok etnis ini sering bersaing dalam berbagai bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Suku Madura yang dikenal dengan daya juang dan keberaniannya bersaing dengan Suku Melayu dalam urusan pekerjaan, tanah, dan kekuasaan. Meskipun ketegangan ini tidak selalu terbuka, kesenjangan sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh kedua belah pihak menciptakan ketegangan yang memicu konflik. Â
Konflik mulai terpicu pada 17 Januari 1999 ketika terjadi penganiayaan terhadap seorang warga Madura bernama Hasan Bin Niyam. Peristiwa penganiayaan ini terjadi di Desa Sari Makmur Kecamatan Tebas. Hasan yang mengalami penganiayaan merupakan orang yang sangat dihormati di kalangan warga Madura di daerah tersebut. Setelah kejadian ini, ada informasi yang tersebar di kalangan masyarakat Madura bahwa penganiayaan ini dilatarbelakangi oleh kebencian etnis dan telah mengarah pada diskriminasi terhadap warga Madura. Setelah mendengar kabar tentang penganiayaan tersebut, masyarakat Madura merasa terancam dan mulai menunjukkan reaksi berupa aksi balasan. Mereka mulai berkumpul dengan membawa senjata tajam seperti celurit dan golok untuk mencari orang yang dianggap bertanggung jawab atas penganiayaan tersebut. Â Â
Pada 19 Januari 1999, sekelompok warga Madura berjumlah lebih dari 100 orang melakukan perjalanan menuju Desa Parit Setia yang merupakan wilayah mayoritas Melayu. Mereka membawa senjata tajam dengan tujuan mencari orang yang mereka anggap terlibat dalam insiden tersebut. Masyarakat Melayu yang merasa terancam dengan kedatangan warga Madura yang membawa senjata tajam mulai merespon dan membalas. Pada 20 Januari 1999, sejumlah orang Melayu melakukan aksi penyerangan terhadap warga Madura yang berada di desa tersebut. Mereka saling serang menggunakan senjata tajam dan senjata api dan menciptakan situasi yang sangat tegang. Kabar ini cepat menyebar ke seluruh daerah Sambas, menciptakan ketakutan yang semakin meluas di kalangan masyarakat Melayu dan Madura. Â Â
Pada 21 Februari 1999, terjadi insiden lain yang memperburuk ketegangan yang sudah ada. Insiden ini bermula dari perkelahian antara seorang pemuda Madura dan seorang kernet bus asal Melayu. Meskipun insiden tersebut awalnya tampak kecil, namun situasi ini memicu reaksi besar dari kedua belah pihak. Massa dari kedua kelompok etnis mulai bergerak dan melakukan serangan-serangan terhadap satu sama lain. Mereka saling menyerang dengan senjata tajam dan senjata api, menyebabkan kerusakan besar dan pembakaran rumah-rumah warga di beberapa desa, khususnya di Kecamatan Pemangkat. Â Â
Pada 22 Februari 1999, kerusuhan semakin meluas. Selama dua hari tersebut sejumlah rumah di Desa Parit Setia, Desa Sari Makmur, dan beberapa desa lainnya dibakar oleh massa dari kedua kelompok. Suku Madura dan Melayu saling menghancurkan properti dan menyerang satu sama lain. Kerusuhan ini mengakibatkan banyak korban jiwa dan luka-luka dari kedua belah pihak serta kerusakan material yang sangat besar. Â
Masyarakat Melayu dan Madura masing-masing berusaha melindungi diri mereka dari serangan kelompok lawan dengan membentuk kelompok-kelompok pertahanan. Terjadinya perkelahian antar kedua kelompok ini tidak hanya melibatkan pemuda dan massa, tetapi juga melibatkan orang dewasa dan tokoh masyarakat yang seharusnya dapat berfungsi sebagai mediator. Â
Pemerintah daerah dan aparat keamanan setempat akhirnya terlibat dalam upaya meredakan kerusuhan. Pasukan polisi dan tentara dikerahkan untuk menenangkan situasi dan mengendalikan massa. Namun, upaya ini tidak langsung membuahkan hasil karena ketegangan dan kebencian antara kedua kelompok sudah terlalu mendalam. Pada akhir Februari 1999, pihak kepolisian akhirnya berhasil menenangkan keadaan dengan melakukan penyisiran dan pengamanan yang lebih intensif. Â
Konflik ini akhirnya mereda setelah pihak berwenang melakukan berbagai langkah untuk meredakan ketegangan dan memperbaiki hubungan antara kedua suku. Pemerintah daerah dan lembaga keagamaan terlibat dalam upaya rekonsiliasi dan pemulihan hubungan sosial antara masyarakat Madura dan Melayu. Namun, dampak dari kerusuhan ini cukup besar, dengan banyaknya rumah yang dibakar, kerugian material yang signifikan, serta luka-luka dan korban jiwa di kedua belah pihak. Â Â Â
Upaya Perdamaian yang dilakukan Â
Setelah konflik yang berkepanjangan, pemerintah akhirnya turun tangan untuk menyelesaikan konflik ini. Ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan sekaligus mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik, upaya-upaya tersebut antara lain: Â
1.Pengerahan Aparat Keamanan Â
Salah satu langkah pertama yang diambil oleh pemerintah adalah mengerahkan aparat keamanan baik dari kepolisian maupun militer untuk mengatasi kerusuhan yang terjadi. Pasukan keamanan ditempatkan di lokasi-lokasi yang rawan konflik untuk menenangkan situasi dan menghentikan aksi kekerasan antar kelompok. Pengerahan pasukan ini bertujuan untuk mengembalikan ketertiban dan mencegah terjadinya kerusuhan lebih lanjut. Â
2.Pendekatan Rekonsiliasi Sosial Â
Setelah situasi mulai mereda, pemerintah daerah bersama dengan tokoh-tokoh masyarakat baik dari Suku Madura maupun Melayu melakukan pendekatan untuk menyelesaikan perbedaan yang ada melalui jalur rekonsiliasi sosial.
Pendekatan ini mencakup dialog antar kelompok etnis yang terlibat dalam konflik dengan tujuan mengatasi kebencian yang timbul akibat peristiwa tersebut. Rekonsiliasi ini berfokus pada pemulihan hubungan sosial yang buruk akibat kekerasan. Â
3.Pemekaran Wilayah Sambas Â
Dampak dari konflik ini juga berpengaruh terhadap wilayah Kabupaten Sambas. Pada akhirnya, terjadi pemekaran wilayah pada Kabupaten Sambas menjadi tiga kabupaten yaitu  Kabupaten Sambas, Kabupaten Singkawang, dan Kabupaten Bengkayang. Melalui pemekaran tersebut, terjadi kesepakatan dimana warga Madura tidak boleh menetap di Kabupaten Sambas dan hanya boleh menetap di wilayah lain. Â
4.Pengungsian Warga Madura ke Pontianak Â
Kondisi Kabupaten Sambas yang sudah tidak dapat dihuni setelah konflik membuat pemerintah memutuskan untuk mengungsikan Warga Madura ke Pontianak. Hal ini juga dilakukan untuk mengurangi tensi tinggi antar suku sehabis berkonflik. Â
 Â
Konflik Sambas tahun 1999 ini tentu saja merupakan konflik yang sangat mengerikan. Perbedaan antar etnis serta kesenjangan sosial dan ekonomi menjadi salah satu alasan mengapa konflik ini bisa terjadi. Beberapa solusi seperti pendidikan tentang toleransi, pemberdayaan ekonomi yang merata, regulasi yang adil, peran pemerintah untuk menjaga keamanan, dan lain-lain sangat diperlukan agar konflik ini tidak terjadi lagi baik di wilayah Sambas maupun daerah lain. Â Semoga kejadian-kejadian seperti ini tidak terjadi lagi.
     Â
  Â
  Â
 Â
 Â
 Â
 Â
DAFTAR PUSTAKAÂ Â
-Bestari, B., Zakzo, A., Program, H. F., Pendidikan, S., Fkip, S., & Pontianak, U. (n.d.). PERISTIWA DAN LATAR Â
BELAKANG KERUSUHAN ANTAR SUKU MADURA-MELAYU DI KECAMATAN PEMANGKAT, KABUPATEN SAMBAS PADA TAHUN 1999. Â Â
-Fadhil Nurdin -Penanganan Konflik di Sambas, H. M., & Fadhil Nurdin, H. (n.d.). 171 - 184 Â Fadhil Nurdin.pmd. Â Â
-Bestari, B. A. H. (2022). Dampak_Sosial_Bagi_Masyarakat_Pasca_Keru. DAMPAK SOSIAL BAGI MASYARAKAT PASCA KERUSUHAN ANTAR SUKU Â MADURA-MELAYU DI KECAMATAN PEMANGKAT, KABUPATEN SAMBAS PADA TAHUN 1999, 5, 138--147. Â Â
-Jaya PU, E. (n.d.). KONFLIK ETNIS SAMBAS TAHUN 1999 ARAH DISINTEGRASI BANGSA. 1--10. Â Â
-Aristoteles Mukhaer, A. (2022). Program Transmigrasi Orba: dari Kepentingan Bisnis Berbuah  Ketimpangan. https://nationalgeographic.grid.id/read/133550457/program-transmigrasiorbadarikepentingan-bisnis-berbuah-ketimpangan?page=all
Romzy Oka Ramdhani Putra/124241037 dari PDB 05, Mahasiswa Universitas Airlangga angkatan 2024 Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Ilmu Sejarah. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H