Jum'at SoreÂ
Jum'at sore adalah hari gajian bagi sebagian besar warga Pekalongan, Karena gajian umumnya diberikan Mingguan bukan Bulanan untuk pekerja sektor perbatikan. Badan letih dan pegal-pegal setelah berkerja, keluh kesah menghiasi suasana senja. Gaji yang sekelumit, dengan kebutuhan pangan yang makin melecit menjadi pembuka obrolan.Â
Meski kondisi sulit obrolan para pekerja selalu mengasikan dengan canda dan gurauan. Namun, sore itu terdapat sebuah kalimat yang cukup mengelisik hati dan pikiran. Kalimat itu adalah "gimana kalau nanti malam kita njamu, biar badan fresh lagi" sambil mengeryitkan dahi, sebuah ekspresi yang menurut saya tidak diperlukan "kalau hanya untuk sekedar minum jamu".Â
Yah,,,, memang sudah lazim rasanya ketika ajakan "njamu" sebenarnya merujuk pada mabuk-mabukan. Â Walaupun saya bukan seorang yang kritis, tapi hati terusik bila mendengar istilah Pengobatan tradisional khas Indonesia tersebut menjadi kamuflase untuk hal-hal negatif.Â
Bayangkan bila lambat laun jamu dikonotasikan dengan minuman-minuman memabukkan? Mungkinkah makna jamu yang sarat akan nilai-nilai religis dan historis  perlahan mengalami pergeseran?
Jamu
Bapak Jokowi yang sekarang sedang ramai menjadi bahan perbincangan karena Putranya "Gibran" menjadi calon wakil presiden, ternyata gemar minum jamu.
Dalam sebuah wawancara, Bapak Jokowi memang gemar minum jamu, hal tersebut diperkuat dengan pernyataan juru masak beliau.
Tri Supriharjo seorang juru masak kediaman bapak Jokowi, menerangkan kalau jamu minuman favorit Presiden ke-7 tersebut adalah Jamu Temulawak. Dengan komposisi 8 potong Temulawak, Kunyit 6 Potong dan Jahe 3 potong.Â
Menurut saya, jumlah potongan dalam ramuan tersebut sesuai dengan tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia "17 Agustus 1945", sekaligus Jumlah Rokaat dalam Sholat wajib 5 Waktu yaitu 17 rakaat. Apakah memang Jamu Bapak Presiden se-filosofi itu??
Mungkin memang ada kaitanya, karena Jamu sendiri memiliki makna yang cukup filosifis. Sehingga untuk meramu minuman berkhasiat tersebut harus lewat pemikiran yang mendalam terlebih dahulu,, mungkin........
Beberapa referensi menjelaskan bahwa jamu terdiri dari dua kata yaitu Jampi dan Oeshodo (Jamoe"ejaan jaman dulu"). Jampi berarti doa atau mantra dan Oeshodo berarti upaya untuk mendapatkan Kesehatan.
Maknanya, jaman dahulu nenek moyang telah mengajarkan bahwa untuk mendapatkan kesehatan perlu melibatkan aspek-aspek ketuhanan, karena hanya Tuhan yang mampu menyembuhkan segala bentuk penyakit. Baik itu penyakit fisik maupun psikis. Selain itu, perlu adanya upaya atau langkah kongkret untuk mencari kesembuhan.
Kesehatan datangnya dari tuhan, namun sebagai makhlukNya kita perlu berusaha terlebih dahulu. Seperti makna filosofi Jamoe "Jampi" dan "Oeshodo", maka perlu ada usaha batiniyah dan lahiriyah. Batiniyah dipanjatkan dengan do'a-doa dan lahiriyah diwujudkan dengan usaha.
Jadi, Jamoe merupakan sebuah tindakan untuk meraih kesehatan dengan cara berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kesehatan tanpa melupakan bahwa Tuhanlah yang menyembuhkan.
Jamoe Instan
Beruntunglah untuk generasi industri 4.0 yang sekarang serba praktis dan instan. Karena usaha untuk memperoleh kesehatan mungkin sedikit lebih mudah dibandingkan era 70an.Â
Ada banyak pengetahuan tentang kesehatan yang bisa di dapat melalui genggaman, lebih lagi akses mencapai fasilitas kesehatan juga mudah hanya dengan smartphone semata.Â
Sebagai perwakilan dari generasi MAGER, yang inginya serba praktis dan instan. Maka Jamu dalam kemasan adalah inovasi yang sangat solutif dan efektif.Â
Cara mendapatkanya pun cukup mudah, banyak tersedia di toko online atau media sosial lainya. Hanya dengan klik dari rumah, jamu datang dan siap dituang. Â Â
Tidak perlu khawatir terkait keamanan dan efek sampingnya, karena Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan sertifikasi bagi Jamu-jamu Instan yang beredar di masayarakat. Yang pastinya telah melalui proses pengawasan dan seleksi yang ketat.
Para penikmat minuman tradisional tersebut juga dapat mengecek legalitas-nya dengan menuliskan merk ataupun nomor registrasi, yang tertera di kemasannya melalui https://cekbpom.pom.go.id/.Â
Jangan lupa, Bahwa minuman tradisional nenek moyang tersebut memiliki logo tersendiri dalam kemasan Instan. Logonya bebentuk ranting daun dalam lingkaran, biasanya berada di atas atau bawah kemasan.
Saintifikasi Jamu
B2P2TOOT adalah sebuah akronim dari sebuah lembaga yang menurut saya terlalu panjang, yaitu Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Memang panjang, sepanjang sejarah yang dilalui instansi tersebut.Â
Awalnya B2P2TOOT Â adalah sebuah kebun koleksi tanaman obat yang bernama "Hortus Medicus Tawangmangu", yang kemudian Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Tahun 1978 berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Obat (BPTO).Â
Pada tahun tahun 2006, BPTO beralih Menjadi B2P2TOOT berdasarkan Peraturan Menteri Kesahatan Nomor 491 Tahun 2006.
Naiknya status kelembagaan tersebut memberikan ruang yang lebih luas untuk melakukan penelitian dan pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.
Salah satu tugas dari lembaga tersebut adalah melakukan saintifikasi jamu, dengan harapan mampu menarik minat masyarakat dan pelayanan kesehatan dalam menggunakan jamu.
Menteri Kesehatan RI periode 2012-2014, Nafsiah Mboi pada Tanggal 31 Januari 2013 meresmikan Rumah Riset Jamu "Hortus Medicus" berbasis rawat inap dan rawat jalan, lokasinya berada di B2P2TOOT Tawangmangu.
Tidak hanya di Tawangmangu, di kota Pekalongan juga terdapat Klinik Saintifikasi Jamu yang buka setiap Senin-Jum'at pukul 08.00-12.00 WIB, Tepatnya di UPTD BALAI PELAYANAN DAN SAINTIFIKASI JAMU (BPSJ) jl.Jl. Letnan Suprapto No.5, Wetan, Kertoharjo, Kec. Pekalongan Sel., Kota Pekalongan, Jawa Tengah 51171 .
So, untuk warga Kota Pekalongan yang ingin menikmati serta konsultasi terkait jamu yang cocok untuk kesehatan bisa langsung menuju BPSJ Kota Pekalongan.
Maka Dari Itu
Kalau di India terkenal dengan ayurvedic dan di China terkenal dengan chinese tradisional medicine (sering dikenal dengan istilah Shinse), maka Jamu juga sudah menjadi signature pengobatan tradisional masyarakat Indonesia.  Bahkan UNESCO  telah menetapkan Jamu sebagai warisan tak benda pada tahun 2023. Â
Berdasarkan pengetahuan tersebut, menimbulkan rasa kecintaan terhadap jamu. Sehingga jengkel rasanya apabila jamu menjadi istilah lain yang merujuk pada perbuatan negatif.Â
Apabila tidak bisa melestarikan budaya nenek moyang tersebut, paling tidak jangan merusaknya. Memang minuman jamu kurang familiar dikalangan gen Z, mungkin karena kurangnya sosialisasi ataupun memang rasanya yang terkadang pahit dan getir.Â
Namun, pahit-pahitnya jamu lebih bermanfaat dari pada janji manis Para Caleg yang terasa enak di telinga.
Jadi, mari kita berhenti menggunakan istilah jamu untuk kamuflase perilaku mabuk-mabukan dan perilaku negatif lainya. Kita dukung dan konsumsi jamu untuk melestarikan budaya nenek moyang tersebut dan manfaatnya lebih dikenal dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H