Mohon tunggu...
Rumi Alfianor
Rumi Alfianor Mohon Tunggu... Mahasiswa - Instagram: @rumialfianor

"Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." - Pram

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cokelat Matcha

19 Februari 2022   15:40 Diperbarui: 19 Februari 2022   15:44 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Unsplash.com)

Ami tak menjawab. Matanya kosong menatap langit pagi yang mendadak menghitam, udara dingin sayup-sayup mengibaskan rambut gondrongku yang kering bercabang, entah kapan terakhir kali aku keramas.

Perlahan awan hitam mulai mewahyukan sabdanya, rintik-rintik kecil berubah menjadi riak hujan. Kabar buruknya, dapat kupastikan aku akan terlambat datang ke kantor dan bosku kembali mengomel seperti biasa karena banyak data paket ekspedisi yang belum aku input. Kabar baiknya, setidaknya hujan memaksa Ami untuk lebih lama bersamaku.

Namun, pastinya tidak lebih lama dari hubungan pacaranku bersama Ami dahulu, enam tahun. Sungguh bukan waktu yang sebentar, bukan?

Aku sungguh mengerti makna dari diam dan canggungnya Ami hari ini,  aku yakin ia bingung jika harus menjawab ketika mungkin aku bertanya ke mana ia selama ini, tanpa kabar, tanpa berita, menghilang, di saat kukira hubungan kami sedang baik-baik saja, tak ada masalah apa pun, tanpa ada kata "putus".

Dua tahun berlalu, semenjak ia tak lagi memberiku kabar. Ia tahu sekarang aku masih bisa hidup, setelah chat terakhirku yang mengatakan bahwa aku tidak akan sanggup hidup tanpanya, yang hanya diakhiri centang biru, tanpa balasan. Namun, yang mungkin ia tak tahu ialah, ragaku hidup, hatiku mati.

Berulang kali aku mencoba membuka hati kembali, seyogianya tips-tips move on yang aku pelajari dari Youtube, tak ada yang benar-benar bisa membuatku melupakan Ami. Ia seperti telah membeli kaveling di sudut terdalam hatiku. Menyebalkan.

"Mi," Aku menyapanya, memberanikan diri untuk terbebas dari penjara rasa penasaran dua tahun belakangan. "Jujur, aku kacau banget setelah kamu nggak ada," sambungku.

"Iya, kelihatan kok," Kata Ami, sambil memandangi sinis rambut gondrong usangku dengan sekotak rokok Surya yang sedang kutenteng. Gondrong dan rokok, adalah dua hal yang sama sekali tidak Ami sukai dari seorang laki-laki.

"Lif, kamu sudah lebih dewasa, harusnya bukan hanya dari segi usia, tapi juga dari sikap!" ucapnya dengan nada yang sama seperti ibuku sedang mengomel di rumah.

"Bagaimana aku bisa lebih dewasa, jika alasanku untuk kuat dan bertumbuh tiba-tiba hilang! Seperti ditelan ulat raksasa Madagaskar! Kamu hilang!," nada suaraku meninggi beradu dengan rinai hujan yang menghantam genting minimarket, "Kamu hilang, Mi. Saat aku lagi sayang-sayangnya," suaraku serak, melemah, sembari memandangnya, pilu. Seperti ada yang menyayat ulu hatiku dengan sembilu, sesak, ngilu.

"Kamu yang bikin aku hilang!" tegas Ami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun