Banyak yang bertahan dengan identitasnya, namun tidak sedikit yang mengadopsi sistem kepercayaan yang diakui resmi oleh hukum Negara. Tetapi melalui Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), dengan Kepres No. 6/2000, Imlek bisa dirayakan kembali dengan bebas. Tidak ada lagi hambatan politis untuk orang-orang Tionghoa kembali merayakan Imlek dan kepercayaan leluhur secara kultural maupun spiritual. Maka diperkirakan tahun-tahun berikutnya perayaan Tahun Baru Imlek dan ekspresi budaya Tionghoa akan lebih marak, apa lagi dengan adanya SK Menteri Agama No. 13/2001 yang menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur Nasional.
Bagaimana seharusnya umat Kristen etnis Tionghoa, menyikapi Tahun Baru Imlek ini? Dan dalam perjumpaan-perjumpaan Injil dengan budaya Tionghoa? Kesadaran ini penting bagi gereja untuk terus membangun pengertian identitas dirinya, identifikasi medan yang dilayani dan keterampilan yang cocok sebagai solusi dari tuntutan budaya sezamannya. Â Dengan demikain, sifat missioner gereja selalu progresif dan aplikatif.
Ada dua alasan mengapa umat Kristen etnis Tionghoa boleh merayakan Imlek secara kultural?
Pertama, Tahun Baru Imlek bisa menjadi kesempatan untuk pekabaran Injil. Allah berinisiatif menyelamatkan manusia yang berdosa (dalam konteks budaya apapun juga) dan memakai setiap orang percaya sebagai saksi dan pelayan Injil.Â
Baca juga: Salah Kaprah Kata Gong Xi Fa Cai untuk Menyebut Tahun Baru Imlek
Kita adalah agen pembaharu budaya kita sendiri. Allah memakai budaya untuk menyatakan dan menggenapkan maksud-Nya, dengan demikian budaya kita adalah sebuah jembatan penghubung untuk menyampaikan Inil dan bukan sebagai tembok pemisah, yang mengakibatkan Injil "tertolak" atau "terhambat".
Tuhan Yesus Kristus lahir dan hadir di dalam konteks budaya Yahudi. J.H. Bavinck, mengatakan "Kristus mengambil hidup seseorang di dalam tangan-Nya, Dia memperbaharui dan membangun kembali yang menyimpang dan yang buruk. Dia mengisi setiap hal, setiap kata dan setiap praktik dengan arti baru dan memberinya arah baru." Selanjutnya Charles Kraft mengatakan "(Allah) mengisi bentuk budaya lama dengan arti baru. Diakui bahwa Allah sudah bekerja untuk mengubah dari dalam."
Dari kedua pernyataan di atas, dapatlah kita melihat bahwa orang percaya (Kristen) sebagai transformator budaya yaitu, dalam suatu budaya tertentu merefleksikan keadaan manusia yang sudah jatuh dalam dosa; namun di dalam Kristus, umat manusia ditebus dan budaya dapat diperbaharui kembali untuk memuliakan Allah dan memajukan tujuan-tujuan-Nya.
Kedua, Tahun Baru Imlek menjadi kesempatan bagi umat Kristen etnis Tionghoa untuk menjawab atau menghilangkan kesalahpahaman orang Tionghoa pada umumnya terhadap ajaran kekristenan. Orang-orang Tionghoa pada umumnya salah paham tentang ajaran kekristenan, dengan menganggap bahwa kekristenan menjadi "biang keladi"/troublemaker dimana anak-anak mereka (yang sudah memeluk agama Kristen) bersikap tidak berbakti pada orang tua mereka karena telah lunturnya budaya mereka. Kesalahpahaman ini dapat dihilangkan melalui peluang yang terdapat dalam merayakan Imlek secara kultural (lihat penjelasan Imlek sebagai kultural).
Tidaklah heran bila kita mengalami atau menyaksikan ketegangan hubungan antara Kristus dengan budaya. Berkaitan dengan hal ini baik kita simak tulisan H.R. Niebuhr (Christ and Culture), 1956 sebagaimana disalin dari Hesselgrave 1978:79, 80) yang membuat kategori lima pandangan sekitar relasi Kristus dengan budaya;
1. Kristus menentang budaya.  Kristus adalah pemegang kuasa satu-satunya, budaya harus ditolak.