"Jangan ada barang haram dirumahku", kata Mbah Kakung. Ada kemarahan yang menggelegak didada lelaki renta hutan jati.
Selepas menjalani hukuman, bapak kembali lagi dengan aktivitas semula. Habitatnya dipusaran politik menjalarkan pikiran guna mencoba kembali ikut Pilkada. Tentangan serta halang rintang dari berbagai pihak menghadang. Caci maki menggeruntal.
"Dasar Koruptor tengik! Masih ingin jadi Walikota lagi?"
"Otaknya dimana?"
"Apa dia punya otak?"
"Urat malunya sudah diganjal balok kayu. Mati"
Mencoba minta restu ke mbah Kakung, tapi dijawab, "Aku ora sudi merestui", kata Simbah, "Nek nekat, tak dongakke kowe kalah"(kalau nekat, saya doakan kamu kalah)
Ternyata bapak malah menang tipis. Sorak pesta kemenangan merebak di seantero kota. Kembali dengan jabatannya, program pembangunan dilanjutkan secara berkesinambungan. Sektor-sektor kehidupan disambangi dengan sentuhan hangat. Sentimen negatif menurun. Dukungan kembali membabat yang anti.
"Manusia bisa berubah. Dulu mungkin khilaf. Semoga sekarang pak Walikota amanah. Kita kasih kesempatan lagi"
Sayang, kasus korupsi kembali menjerat bapak. Masyarakat dibuat terbelalak. Pendukungnya malu luar dalam. Mereka seperti tersedak biji durian.
"Dia itu manusia apa? Bisa jelaskan?"
"Dia setan! Pantas tak bermoral"
"Dasar keledai bebal!"
Kabar tersebut membuat mbah Kakung terjengkang sakit. Ketika aku kunjungi, beliau menangis. "Oalah Hen, Iki lelakon opo to?"(Oalah Hen, ini cobaan apakah?)
Aku tak mampu menjawab. Aku tepekur tolol.
Tak habis pikir, kenapa bapak mengulangi kebodohan lagi? Aku menyesali keputusan tinggal dengan keluarga barunya. Andai dulu aku tak menuruti saran Simbah.
Apapun yang terkait dengan koruptor, siapapun kena imbas.
"Intelektual kita bisa tercemar akibat anak koruptor kuliah disini"
"Sejarah mencatat, bahwa keturunan koruptor menempuh pendidikan di lembaga ini"
Ejekan-ejekan yang memualkan menerpaku tanpa tedeng aling-aling.
Persidangan kembali digelar mirip kasus 8 tahun yang lalu.
Pengacara terkenal dari Jakarta membentengi bapak dengan pasal-pasal perlindungan. Jaksa penuntut membombardir dengan pasal-pasal pemberatan.
"Terdakwa jenis manusia tidak bermoral. Dia memberi contoh buruk bagi generasi bangsa. Sebuah perilaku anomali, menyimpang dari koridor tata sosial masyarakat, agama, negara. Penyelewengan ini mengganggu ketertiban dan ketentraman hidup manusia", kata jaksa penuntut, "Dia layak dihukum mati, Yang Mulia"
Teriakan pengunjung sidang membahana, mendukung sang jaksa.
"Hadirin di mohon tenang", kata hakim ketua.
"Dia manusia trenggiling, busuk, rakus, babi dungu, sontoloyo", lanjut jaksa
"Saudara jaksa, apa maksud kalimat yang anda lontarkan? Gunakan kata-kata yang baik?"
"Maaf Yang Mulia, saya terbawa emosi", jawabnya, "Terdakwa ini adalah yang 8 tahun yang lalu saya lawan. Ternyata sel penjara gagal membuatnya menjadi manusia beriman. Dia mengulangi perbuatannya"
Persidangan itu menjadi serial berita Hukum dan HAM hingga menembus kancah internasional. Seorang jurnalis luar negeri dibuat kaget manakala mengetahui yang diliputnya adalah koruptor yang kembali korupsi dengan menjadi Walikota kembali.
"What happened in your country? Â Isn't your country famous for being very religious? Only pigs eat greedily, not humans"(Apa yang terjadi di negeri tuan? Bukankah negeri tuan terkenal sangat relijius? Hanya babi yang makan dengan rakusnya, bukan manusia), ujar wartawati BBC London.