"Sudah berapa lama anakmu sakit?"
"Cukup lama, semenjak pertambangan itu dibuka. Untung saja sekarang musnah"
"Lah, sekitar tiga tahunan?"
"Gejalanya mirip anak Kang Dwipa, gatal-gatal disekujur kulit. Rasanya panas"
"Beruntunglah kita, hutan Klampis menyediakan apa yang orang kampung harapkan. Makanya harus kita jaga agar jangan sampai dirusak orang luar"
Orang-orang kian dekat dengan titik kumpul celeng dan anjing.
Tiba-tiba seekor celeng keluar dengan kecepatan tinggi. Menyeruduk orang-orang.
"Celeng!!". Mereka terkesiap, gagap. Tak sempat menghindar. Hantaman telak mengenai kaki. Tersungkur. Serbuan datang bertubi-tubi keluar dari semak belukar. Suara gaduh meninggi. Kepanikan menyergap. Mereka berlarian menyelamatkan diri, zig zag sebelum akhirnya meraih dahan sebagai daya lenting agar tubuh mereka bisa hinggap dipohon.
Tak semuanya bernasib baik. Satu orang gagal mengantisipasi keadaan sehingga menjadi bulan-bulanan para celeng. Taring mengoyak tubuhnya. Darah muncrat membasahi badan mengucuri hamparan humus. Yang diatas pohon menggigil menyaksikan kesadisan para celeng. Tekanan menghimpit ruang kesadaran melihat kondisi temannya yang bernasib malang. Kegelapan menyergap cepat, pingsan. Sayang, posisi tubuhnya menjuntai hingga jatuh kebawah dengan posisi kepala duluan.
"Kreek!" Suara leher patah memukul udara. Para celeng berpesta pora. Binatang omnivora itu mendapat tambahan berkah dari langit. Taring membelah-belah santapan baru.
"Anjing! Keluarlah!", Teriak para celeng, "Daging manusia sungguh enak. Bukankah mereka yang menganiaya kamu!? Saatnya balas dendam"