"Maksudnya?"
Para celeng saling mengosok-gosokkan congor pada kulit sesamanya. Kasar, menimbulkan berisik. Kecipak bertimbulan menyisip belantara. Rasa penasaran anjing pada celeng mengapungkan senarai kisah sebab mula mereka meninggalkan kawasan terdahulu.
Perbukitan bagian dari hutan barat daya menjadi surga bagi semua satwa, termasuk kawanan celeng. Rimbun, menghijau, kaya akan makanan, udara selalu lembab sangat disenangi celeng. Kawasan itu dibelah oleh beberapa anak sungai  berair bening yang hulunya terletak dibalik punggung dua bukit besar. Cerita tentang eksotika serta kedamaian yang tersembunyi sekian lama mengundang para penjelajah untuk mencicipinya. Batang sungai yang tidak terlalu dalam serta deras sisi lain daya tarik kawasan tersebut. Bencana mulai mengintai manakala satu penjelajah menemukan sekelat emas. Tidak perlu menggali, kelat-kelat emas berserak bercampur dengan batu dan pasir dipinggiran sungai. Kegagalan mengendalikan mulut serta napsu menjadi awal kerusakan kawasan itu. Rombongan manusia datang bak garnisun perang, silih berganti dengan membawa ragam peralatan.
"Kami hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat banyak", ucap celeng, "Pernah kami mencoba mengintimidasi dengan menampakkan diri, tapi mereka..."
"Awas! Ada rombongan celeng! Waspada! Kongkang bedil kalian!". Tak beberapa lama suara bedil menggelegar. "Ha...ha...ha...betapa beruntungnya, tempat ini juga menyediakan pasokan makanan buat kita".
"Beberapa dari kami tergeletak mengerang. Kulit kasar kami ternyata tidak sanggup menahan benda kecil yang terlontar dari alat mereka. Kami tinggalkan sanak yang tergeletak".
Dengan taring tajam yang dimiliki, para celeng mengaduk tumpukan dedaunan  menembus lapisan tanah hingga kedalaman tertentu. Seonggok umbi berhasil diangkat.
"Makanlah". Tawaran yang menggelikan disaat kepayahan. Anjing hanya bisa menatap. Seleranya redup.
"Kami tahu, tapi dalam kondisi begini hanya ini yang bisa dijadikan ganjalan. cobalah umbi ini. Belum ada daging yang bisa  kau makan"
Perubahan begitu cepat mewarnai hutan barat daya. Bila awalnya hanya sungai yang dijarah, manusia-manusia serakah mulai menggunduli hutan kami. Pohon-pohon ditebang serampangan menyisakan tunggul-tunggul.
"Dari jauh kami sesekali masih menatap aktivitas mereka. Betapa cepatnya perubahan itu terjadi. Manusia sudah hilang akal"