"Mas, ternyata mengatur tamu kalangan berduit kadang makan hati", katanya. Dia dikatain 'dasar miskin' hanya karena menyuruh si tamu duduk dibelakang. Karena kursi depan semua penuh.
"Ya sabar saja, mbak". Ada oknum tamu seenak udelnya. Demi dapat satu kalangan dengan kelompoknya, tatanan kursi diubah. Mengambil satu dua kursi diletakkan menghalang. Jelas saja akan mengangggu mobilitas tamu lain atau pramusaji. Kalau dibilangan malah njawab, "Udah nggak apa-apa. Gini saja". Dia merasa tamu adalah raja. Tapi menurut saya, dia raja lalim.
Kemunculan mereka bukan ancaman buat Kumbokarnan. Sebab, masyarakat umum, terkhusus pedesaan, Kumbokarnan mutlak jadi andalan. WO belum menembus pemikiran mereka. Budaya guyub rukun masih dijunjung tinggi. Jadi selama langit belum runtuh dan hajatan masih terus ada, Kumbokarnan akan tetap berdiri tegak, mengawal supaya perhelatan berlangsung lancar tanpa kurang suatu apa.
Beberapa hari setelah resepsi selesai. Biasanya, ada acara pembubaran Kumbokarnan. Tuan rumah akan mengucapkan terimakasih atas bantuan yang diberikan dengan memberikan terteran berupa jenang sumsum. Kenapa jenang sumsum? Menurut para leluhur, ada filosofi dibalik kudapan dari tepung beras ini. Bubur berwarna putih memiliki makna kebersihan hati serta pikiran membuat tubuh kembali segar. Sedangkan rasa manis dari juruh(cairan dari gula Jawa) menyimbolkan manisnya hidup, kebahagiaan, kesejahteraan serta rasa terima kasih.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI