Tanah kering menjadi ornamen dalam rumah. Dengan jangkauan langkah kaki bisa dikitari hanya kisaran menit. Karena tidak begitu luas, inilah yang menjadi pertimbangan bangunan berbentuk limasan menjadi hunian sementara bagi pasukan APRI(Angkatan Perang Republik Indonesia). Kondisinya yang jauh dari menarik menjadi alasan kenapa bangunan tua ini dijadikan markas gerilya  pasukan panglima besar Jendral Soedirman selama tiga bulan lebih, dari 1 April-7 Juli 1949.
Kaki melangkah ditarik keheningan. Sudut-sudutnya memberi pelajaran bagiku akan kehidupan jaman dulu. Teras, ruang tamu, kamar, dapur, gentong, dinding kayu dan gedhek menyimpan helaan napas para pejuang. Didekat dapur, telingaku menangkap sesamar suara orang. Siapa? Keingintahuan menyihir kakiku mendekat. Sebuah tabir mirip air terjun tampak disudut dapur. Aneh. Tangan menyentuh. Getar kecil menyengat. Semakin penasaran, memaksa kepalaku melongok menembus tabir. Terlihat seorang dengan jas hijau tebal mengarahkan pandangan ke cangkir. Sepertinya sedang menikmati kesendirian. Kelihatan ringkih, tapi parasnya teduh. Keberadaanku tidak ia ketahui.
"Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah dia jendral besar". Aku bergumam sembari mencubiti kulit pangkal tangan berkali-kali. Sakit. Masih kurang, berpindah ke pipi. Sakit juga. Ini bukan mimpi. Kejadian apa ini? Tubuh aku mundurkan. Tolah-toleh, sepi. Pengunjung hanya aku sendiri. Sebelumnya ada sepasang anak muda juga memasuki rumah gerilya ini. Tidak lama, hanya dua puluh menitan, lalu mereka beranjak pergi.
Kembali kepalaku melewati tabir. Iseng-iseng panggilan aku layangkan "Panglima". Orang yang aku maksud celingak-celinguk. Ha! Ini kenyataan. Kembali suara kutabuh. "Panglima!". Dia bingung. Berdiri mencari arah suara. "Panglima!". Tubuh ringkihnya merasa dipermainkan. Wajahnya tersiram kebingungan. Pria berblangkon itu mendekati posisiku. Dengan cepat tanganku meraih tubuhnya, aku seret melewati tabir ke zona masa depan. Terhuyung-huyung hampir jatuh. Ia marah. " Apa kamu mau membunuh saya!". Tangannya meraih keris yang tersembunyi dibalik jubah.
"Tenang, panglima. Tenang.....". Aku memperlihatkan gesture pasrah.
"Sopo kowe!".
"Saya pengunjung rumah gerilya", kataku.
"Pengunjung? Kowe mata-mata Belanda!", Serunya.
"Bukan...bukan, panglima" tanganku memberi isyarat agar beliau slowdown. "Panglima saya seret ke tahun 2019"
"Rasah nggladrah! Omongan sing nggenah". Walaupun terlihat lemah, Beliau mencoba memperlihatkan kekuatannya. Tangannya masih belum lepas dari gagang keris. Aku berharap jangan sampai keris itu dicabut dari sarungnya. Bahaya. Rumornya, pasukan Belanda pernah dibuat linglung oleh senjata berluk tersebut.