***
Jam menunjukkan pukul 12 kurang sembilan menit. Panas mendapat kuasa memanggang kepala-kepala tanpa pelindung. Jalan di depan gedung pemerintah penuh para pengunjuk rasa.Â
Gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi tumplek jadi satu. Kekuatan yang cukup solid guna menggempur kaki tangan penguasa negeri yang otoriter. Seperti demo-demo sebelumnya, tuntutan reformasi dijadikan inti utama.Â
Petinggi-petinggi di dalam gedung dibuat gerah. Aksi unjuk rasa makin gila. Dan itu tiap hari. Yel-yel bersahutan sambung menyambung mengusik nurani. Tangan terkepal mengarah keatas.Â
Keinginan massa bertemu para petinggi serta wakil rakyat tak kesampaian. Negosiasi alot. Aparat tak memperbolehkan. Massa mahasiswa berbaris rapi mendengarkan orasi dari rekan mereka. Setelah cukup lama pimpinan mahasiswa bertindak.
"Rekan-rekan...siap!" Aba-aba meletup. Instruksi diikuti tanpa panjang pikir.
"Dua langkah kedepan...jalan!" Bak garnisun perang, massa maju dengan gagah. Jarak dengan aparat makin menciut. Muka-muka terguyur keringat berpadu partikel debu.
"Berikutnya! Tiga langkah kedepan...jalan!" Aparat dan mahasiswa menebarkan aroma batin masing-masing. Napas-napas saling berbenturan terbungkus panas siang. Detak jantung berdegup berpacu kencang. Detik-detik terus berjalan walau semua tegak bersitatap.
"Rekan-rekan! Demi tuntutan hati nurani dan reformasi...seribu langkah majuuuu...jalan!" Suara gaduh akibat benturan dua gelombang besar yang berbeda persepsi terjadi. Saling dorong dengan teriakan serta sumpah serapah meninggi.Â
Emosi berjingkat-jingkat menusuki hati. Baku hantam terjadi. Pihak massa yang bermodal kepalan tangan harus mengakui daya remuk tongkat aparat. Cuma karena didorong semangat juang untuk menunaikan tuntutan reformasi lah yang membuat mereka bertahan.Â
Hebat. Kegaduhan mendapat tempat. Pagar betis akhirnya jebol. Beberapa aparat yang terkena lemparan batu ditambah jotosan, terjengkang. Inilah celah untuk maju menuju sasaran.Â