Tak perlu kau mengirim angin selatan untuk menyampaikan undangan. Karena tahun ini musim angin kurang begitu tumbuh. Cuaca didominasi kemarau tanpa diselingi sekejap hujan pun. Tanaman padi kepayahan menahan belitan kekeringan. Pucuk-pucuk tunas merangas sebelum sempat dihirup kumbang. Debu beterbangan penuh arogan melabrak apapun dihadapan. Semua itu bagiku tak berarti.
Yang utama sebenarnya aku ingin lebih intim mengenal dirimu. Bercengkerama bersama senjakala dibarat daya. Aku seorang diri menyambangimu berbekal dua lembar seratus ribu menempuh jarak 48 km kearah Kabupaten Klaten yang semboyannya- Bersinar -sudah berumur 30 tahun lebih.
Hari itu begitu indah. Hati semerbak pikiran ringan tanpa para bedebah. Jalan utama dipadati kendaraan dengan berbagai ukuran. Setelah menempuh waktu satu jam lebih, pelambatan mengambang. Â
Aku parkirkan motor disebuah warung sekaligus tempat penitipan. Sambutan ramah dari pemilik  membuat senyumku merekah.
"Sak Niki menopo mangke, bu?" (sekarang atau nanti, bu)
"Mangke kemawon, mas?" (nanti saja, mas)
Uang parkir tertunda pindah tangan.Â
Ditengah lalu lalang  aku melangkah menuju pintu masuk. Ramai. Saling menyahut mengudara bebas nirlarangan. Pengunjung tidak hanya wisatawan domestik, bule juga mampir.
Sekitaran candi Plaosan telah membentuk putaran ekonomi kerakyatan, walau mungkin skalanya kecil. Warung-warung makan, jasa penitipan motor dan mobil, kios- kios cinderamata, juru foto sekali jadi dengan tarif Rp.10 ribu/foto(ditunggu 5 menit hasil jepretannya). Â
Untuk mengunjungimu tak perlu rogoh saku terlalu dalam, cukup sepuluh ribu rupiah per orang. Anak-anak dua ribu rupiah, sedang wisatawan asing lima puluh ribu rupiah.
Sungguh senang melihat ujudmu dari jauh. Dan kau pun antusias melihat kedatanganku. Apakah kau sudah menyiapkan semuanya? Karena suara gending-gending Jawa mengalun berarak penuh aura tempo doeloe, mendayu diantara batu-batu mempengaruhi suasana hatiku, mungkin juga pengunjung lain. Ini sebuah sambutan khusus?
Begitulah, kakiku berhasil menginjak halaman depan komplek candi. Sepakan sepatuku membuat kepulan kecil debu melingkar-lingkar tanpa juntrungan. Hawa panas memaksaku berhenti dulu disebuah papan informasi mengenai seluk beluk dirimu. Aku tidak mau grusa-grusu. Sesekali tanganku bermain disekitaran kening, mengusap keringat yang bertimbulan.Â