Koran minggu dihalaman 16 memuat infografik menimbulkan perdebatan sengit dikalangan kaum lelaki dukuh Mancasan, Piyungan. Khususnya komunitas cakruk rumah pakde Darmo. Perdebatan membuncah, sebab tiap kepala mempunyai persepsi sendiri. Hal itu dikarenakan cakupan wawasan pengetahuan kurang, tapi ngeyel. Nekat digelontorkan. Â
Koran yang seharusnya mencerahkan malah meniupkan prahara.
"Jelas meragukan", kata Lik Tarmin, "Masa' membangun candi begini?"
"Tukang gambarnya hanya mengira-ira. Disesuaikan daya khayalnya", tambah Dalbo, "boleh saja, tapi jangan gebangeten ngawur. Lihat, apakah pakaian mereka sesuai jamannya? Payungnya model begitu? Bentuk gerobaknya benar? Â ditarik kerbau? Terlalu Absurd!"
"Gambar dibuat dengan memakai data. Pembuatnya menggunakan pendekatan historis dalam pengerjaannya", kata Sadikun menengahi.
"Historis apa? Aku nggak yakin!", sergap Dalbo
"Dulu guru sejarahku pernah membedah proses pembangunan Borobudur", lik Tarmin duduk tenang, sesekali seruput teh. "Tahapannya, setelah pondasi Kamadhatu jadi kemudian sekelilingnya dipadatkan dengan tanah sebagai jalur bagi pekerja turun naik mengangkat bongkahan batu menuju proses Rupadhatu. Terus sampai Arupadhatu. Jika selesai, tanah yang mengelilingi candi akan digerus, dibersihkan sampai tuntas. Tidak seperti gambar ini"
"Metode ngawurisasi. Lalu mencari tanah urukan sebegitu banyak dimana? Setelah selesai dikemanakan? Butuh berapa gerobak sapi atau kuda untuk mengangkutnya?", tanya Dalbo, "Guru sejarahmu sekedar memperkirakan. Wes jan ngawur tenan"
"Yo embuh. Aku hanya menceritakan kembali", ungkap lik Tarmin membela diri. Hatinya tersengat mendengar mantan gurunya disebut ngawur, "Tanjir! Celeng kirik! Sok keminter", sungutnya
Lembaran koran tergeletak siang malam. Pindah tangan, tersampir di penyangga 'T' cakruk. Dilihat oleh puluhan mata yang mampir, sekedar menengok isu yang berkembang mengenai perdebatan sengit. Mereka sesekali urun pendapat, dan akan disambar ganas bagi yang tidak sependapat.
Koran makin lecek. Tapi kelecekannya tidak mengurangi tangan-tangan mencengkeram untuk melihatnya.
Cakruk pakde Darmo, selama ini dijadikan singgahan bagi orang-orang dusun, mahasiswa, pelajar yang punya kepentingan. Pusaran itu menjadi ajang tukar pikiran yang kadang menjurus pada diskusi. Bangunan cakruk dibuat dari kayu dengan arsitek anti gempa ala pakde.Â
Ketangguhannya teruji ketika gempa menerpa dibulan Mei 2006. Diatasnya sering buat tidur anak-anak mahasiswa yang terdampar untuk melepas penat. Letaknya sungguh aduhai. Sebelah selatan terhampar persawahan berhektar-hektar. Perbukitan tampak dari jauh.Â
Gemericik air selalu berbunyi karena saluran air tampak melintas dengan rumput membalut galengan(pembatas sawah) menyebar sampai jauh. Kolam ikan terbentuk cantik dengan isi ikan mas berbagai ukuran.Â
Sesekali kecipaknya tersembul. Berjenis pohon tumbuh disekitarnya; Matoa, beringin, bambu, jambu meneduhi setiap waktu. Tanaman di polybag lebih beragam lagi; cabe, mint, tomat, kemangi, terong, selada dan sebagainya.
Dulu, pakde Darmo lulusan perguruan tinggi di Jogja sebelah barat. Bertahun-tahun jadi relawan bencana membuat jiwanya terasah; tsunami Aceh, letusan Merapi, tsunami Pangandaran, gempa Jogja dan sebagian Jateng. Itu yang besar. Yang skala kecil lebih banyak. Hati pakde Darmo yang kerap membantu menjadi tarikan serta payung bagi mahasiswa jika perlu bantuan. Apapun, selama bisa.
Di antara pengunjung cakruk adalah mbah Wulu. Panggilan itu disematkan karena tangannya ditumbuhi bulu sedemikan lebatnya. Mirip bulu dibadan kera. Beliau seorang petani yang mempunyai sawah beberapa patok. Kebiasaannya, mampir ke cakruk sekedar bikin segelas teh tubruk. Cakruk merupakan tempat favoritnya setelah bekerja disawah.Â
Semilir angin menepuk-tepuk kulit, membelai rambut yang didominasi warna putih. Mbah Wulu akan berbincang-bincang dengan siapapun. Usianya yang mendekati tujuh puluh tahun belum menggerus kekuatan tubuhnya. Tulangnya masih kokoh, badan masih tegap dengan jantung dilapisi hawa sejuk bahkan cenderung dingin pagi dari perbukitan sewu.Â
Tak heran, ia menjadi kakek perkasa. Sejak muda sudah terbiasa lelaku prihatin. Salah satu andalannya bercerita. Diantara cerita tersebut yaitu tentang sawahnya yang tidak pernah diserbu hama, baik tikus, wereng, keong, atau apapunlah. Padahal kiri-kanan dibabat habis pasukan pengerat. Petani lainnya heran, apa yang membuat perbedaan diantara tanaman mereka.
"Mengolah sawah, itu seperti merawat bayi. Kudu telaten, amati kondisi pertumbuhannya dari hari ke hari. Pupuknya juga harus pas. Airnya jangan sampai kurang", katanya, rokok kelobot ia sesap, kemudian gulungan asap dilepas membentuk lingkaran bergoyang-goyang sebelum lenyap.Â
"Harus diprihatini dengan puasa selain melihat pranata mangsa. Beberapa pantangan kudu dijauhi, itu syarat wajib". Lelaku spiritual jawa menjadikan mbah Wulu awas(tajam penglihatan mata batin). Bisa ditebak, seiring memuncaknya perdebatan, mbah Wulu diseret guna mengumandangkan pendapatnya. Karena, dari beliaulah, warga dusun tahu kalau wilayah mereka ternyata jaman dulu adalah sebuah asrham, tempat pendidikan agama Hindu-Budha yang diadopsi dari negeri India.Â
Di tempat ini, hubungan antara guru dan murid bagaikan sebuah keluarga. Dimana penggemblengan jiwa dilakukan sebagai tahapan menuju pancaran cahaya Sang Maha Pencipta. Mbah Wulu sering melihat orang-orang tak kasat mata bersliweran. Hilir mudik diwilayah tersebut. Bisa pagi, sore atau malam. Tidak menganggu atau terganggu.Â
Beda dimensi membuat semua terkendali. Â Menatap tajam, tersenyum, menunduk memberi hormat.
"Tidak usah takut", saran mbah Wulu, "Mereka masih berproses menuju nirwana. Kalau kadang bersirobok, anggap saja rejeki nomplok". Mbah Wulu terkekeh-kekeh. "Aku sudah sering bersitatap pas malam-malam ketika memeriksa sawah. Ya, biasa saja".
"Dari sini sampai sawahnya pak Lurah, dulunya pesantren-itu kalau orang sekarang bilang. Tempat orang-orang menimba ilmu ajaran Hindu-Budha", kata mbah Wulu.
Di tempat tersebut sering ditemukan benda-benda kuno; tempayan, manik-manik, guci, peti batu. Temuan-temuan itu ada yang disimpan penduduk tapi ada juga yang di serahkan pada Balai Pelestarian Cagar Budaya(BPCB). Satu temuan yang lumayan menghebohkan adalah lumpang batu. Ukurannya cukup besar. Ditemukan dekat kali yang membelah pinggir dusun.Â
Dua puluh delapan orang dewasa gagal mengangkat. Lumpang itu tidak bergeser seincipun, seperti dicor besi. Semua judeg. Tapi berkat ritual mbah Wulu dengan disabet sabut kelapa akhirnya lumpang mau dipindahkan dan diletakkan pada tempat khusus. Lumpang menjadi ikon desa. Dibuatkan rumah penanda, dengan sebutan Monumen Lumpang Mancasan.
"Mbah, pendapat sampeyan melihat gambar pembangunan Borobudur bagaimana?"
Gambar terpampang gamblang dihadapan. Mata mbah Wulu menatap lekat. "Sing mbok karepke piye?"(yang kamu inginkan bagaimana)
"Begini, mbah. Apakah gambar ini mewakili tentang kondisi jaman dulu?"
"Tidak semuanya tepat", kata mbah Wulu
"Lha rak tenan, to", sambar Dalbo sumringah. Ia merasa mendapat dukungan. Posisi duduk diperbaiki, antusias.
"Tidak tepatnya dimana, mbah?"
"Kondisi ragawi secara keseluruhan. Juga pakaian yang dikenakan". Seruput kecil dari bibirnya memberi rangsang pada orang-orang untuk mengikuti lakunya. Gelas belimbing terangkat bersamaan mendekat bibir, sambil mata tak lepas dari mbah Wulu.
"Orang jaman dulu pakaiannya sangat sederhana, seni berbusana belum detail. Terutama rakyat jelata. Juga jarang mandi, terkesan jorok," ungkap mbah Wulu. "
"Kalau kalian melihat patung atau relief di candi-candi sekitar wilayah kita, akan terjumpai cara berbusana mereka. Perempuannya tidak pakai kemben. Jadi payudaranya terpampang"
"Gambar ini kan juga begitu. Tanpa kemben....", bela Sadikun.
"Iya, cuma ini kelihatan bersih. Menurut mbah Wulu tidak begitu", kata Dalbo. "Susune gondal-gandul berdebu"
Kalimat terakhir memaksa gelak tawa membahana. "Ngene iki sing seneng, Tarmin"(begini ini yang suka, Tarmin). Yang disasar hanya cekikikan. "Halah, kowe yo seneng"(halah, kamu juga suka).
"Gambar ini terlalu bagus". Telunjuk mbah Wulu menempel. "Pengalamanku melihat para penghuni asrham, mereka tidak sebersih ini. Benar, hanya beberapa lapis kain. Beberapa diantaranya kumal, karena satu-satunya pelindung badan dari deraan panas, hujan serta pandangan mata"
"Kalau rajanya bagaimana, mbah?"
"Rajanya juga sederhana. Istananya tidak besar atau mewah. Atapnya saja dari ijuk. Sama, jarang mandi. Kalau bangun tidur hanya cuci muka. Suka nginang-memakan daun sirih ditambah kapur. Kemudian menggosokkan tembakau ke gigi"
"Apa tidak bau, mbah?"
"Kalau itu jangan tanya saya", tegas mbah Wulu.
"Pertanyaanmu ora mutu, Ndos", serang lik Tarmin.
"Artinya, anggapan masyarakat selama ini keliru?"
"Ya iya. Kehidupan mereka jangan ditarik lurus sejajar dengan pola hidup masyarakat sekarang. Jauh beda"
"Seandainya gambarnya dibuat lebih natural, mungkin hasilnya kian menarik", ungkap Dalbo. Jemarinya pegang janggut sambil dielus-elus. "Apa adanya. Tidak usah di manipulasi. Pembuatnya juga harus belajar sejarah"
"Biar tidak terjadi perdebatan di tempat ini", sambung lik Tarmin.
"Lha iya, aku dengar gara-gara gambar ini sampai udur-uduran(adu mulut) seperti anjing dengan kucing", ucap mbah Wulu. "Padahal, yang digambar saja rukun walau beda tata cara penyembahan. Penganut Hindu dan Budha saling hormat menghormati. Pengejewantahannya berupa candi Borobudur, Prambanan, Plaosan"
"Maksud koran ini menampilkan reka bangun candi, mungkin untuk menambah pengetahuan buat pembacanya", lanjut mbah Wulu.
"Tapi, mbah...."
"Sudah. Tidak usah diteruskan. Nanti tidak  selesai-selesai. Masak sudah seminggu mempersoalkan gambar satu", potong mbah Wulu, "Contohlah para pendiri negara ini, walaupun kerap berbeda pendapat, tapi demi kesatuan dan persatuan menyingkirkan ego masing-masing. Karena hal itu pondasi bagi berlanjutnya sebuah komunitas. Lebih baik kamu mengirim surat ke dewan redaksi koran ini. Sanggah saja, keberatannya bagian mana. Ditulis. Lalu suruh membuat gambar lagi yang mendekati sejarah sebenarnya. Bagaimana? Sepakat, tidak?"
Semua menunduk. Pikiran berkecamuk. Akhirnya semua mengiyakan untuk menyudahi polemik gambar.
"Lha nek ngene kan penak"(lha kalau beginikan enak), ucap mbah Wulu
"Nanti biar saya saja yang kirim surat ke redaksi koran ini, mbah", kata Dalbo.
"Kuwi jos!", gemuruh kesepakatan menyala di cakruk pakde.
Bersama terkikisnya panas matahari, kelegaan tertoreh padat pada hati kaum lelaki. Keegoisan mereka rontok oleh dalil mbah Wulu. Dukuh Mancasan memutar kembali harmoni yang beberapa hari terganggu gelegar emosi hati. Terurai sudah silang sengkarut dibumi Projotamansari[**]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI