"Pertanyaanmu ora mutu, Ndos", serang lik Tarmin.
"Artinya, anggapan masyarakat selama ini keliru?"
"Ya iya. Kehidupan mereka jangan ditarik lurus sejajar dengan pola hidup masyarakat sekarang. Jauh beda"
"Seandainya gambarnya dibuat lebih natural, mungkin hasilnya kian menarik", ungkap Dalbo. Jemarinya pegang janggut sambil dielus-elus. "Apa adanya. Tidak usah di manipulasi. Pembuatnya juga harus belajar sejarah"
"Biar tidak terjadi perdebatan di tempat ini", sambung lik Tarmin.
"Lha iya, aku dengar gara-gara gambar ini sampai udur-uduran(adu mulut) seperti anjing dengan kucing", ucap mbah Wulu. "Padahal, yang digambar saja rukun walau beda tata cara penyembahan. Penganut Hindu dan Budha saling hormat menghormati. Pengejewantahannya berupa candi Borobudur, Prambanan, Plaosan"
"Maksud koran ini menampilkan reka bangun candi, mungkin untuk menambah pengetahuan buat pembacanya", lanjut mbah Wulu.
"Tapi, mbah...."
"Sudah. Tidak usah diteruskan. Nanti tidak  selesai-selesai. Masak sudah seminggu mempersoalkan gambar satu", potong mbah Wulu, "Contohlah para pendiri negara ini, walaupun kerap berbeda pendapat, tapi demi kesatuan dan persatuan menyingkirkan ego masing-masing. Karena hal itu pondasi bagi berlanjutnya sebuah komunitas. Lebih baik kamu mengirim surat ke dewan redaksi koran ini. Sanggah saja, keberatannya bagian mana. Ditulis. Lalu suruh membuat gambar lagi yang mendekati sejarah sebenarnya. Bagaimana? Sepakat, tidak?"
Semua menunduk. Pikiran berkecamuk. Akhirnya semua mengiyakan untuk menyudahi polemik gambar.
"Lha nek ngene kan penak"(lha kalau beginikan enak), ucap mbah Wulu