Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bertemu "Xian Roe Xiao Long" a.k.a Puthu Bumbung

3 Juni 2019   06:23 Diperbarui: 3 Juni 2019   07:19 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuliner. Sumber ilustrasi: SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com/Rembolle

Siang terik dikawasan Mojosongo, sebuah wilayah diutara kota Solo. Melewati jalan sedikit menanjak bergerombol dengan pengendara lain agar sampai diujung jalan yang mendatar. 

Seringai matahari memaksa sepasang kaki sesekali menghentikan langkah demi memberi kesempatan punggung tangan mengusap cucuran peluh yang timbul silih berganti di sekitaran kening. Adegan itu memaksa kepalaku menoleh. Aku melambatkan motor karena gangguan drama sekilas.

"Xian Roe Xiao Long", batinku mengucap.

Diruang kosong pikiran segera saja di masuki pertarungan antara 'Ya' dan 'Tidak'. Laju motorku melewati drama kehidupan tadi. Menanjak terus hingga aku memutar balik  untuk mendatangi drama kembali. 

Deru motor menurun dengan memasang sorot mata pencarian. Dititik, dibelokan arah gerbang perumahan, drama tadi saya kuntit dari belakang.

"Pak! Tumbas" (pak, beli)
Tolehan kepala memangsa ucapanku, "O inggih, mas"

Pria baya itu mencari sudut paling aman dipinggir jalan agar lepas dari incaran seringai matahari. Pikulan dagangan ia turunkan dari pundak. Peluhnya masih bertimbulan deras.

"Panase ngedap-edapi", (panasnya mengherankan)  ucapnya, "Wau bubar Jum'atan kulo leren sedilit wonten masjid mriku" (tadi selesai jum'atan saya istirahat sebentar di masjid itu)

Bapak penjual itu bercerita tanpa aku suruh. Aku tersenyum hingga menarik garis kerutan melukisi wajah.

Sesekali gerakan tangannya melakukan manuver aneh-mirip penari breakdance. Ia ambil dingklik (kursi kecil tanpa sandaran)untuk menopang pantat sebelum melakukan atraksinya.

"Tumbas pinten, mas?" (beli berapa, mas)
"Kalih mawon pak" (dua saja, pak)

satu porsi berisi 10 biji dibanderol Rp.10 ribu. Itu artinya satu biji dihargai seribu rupiah. Jadi nanti saya akan mengeluarkan 20 ribu-karena saya beli dua porsi.

Mulailah si bapak meramu dagangannya. Begitulah, dengan cekatan tangannya memasukkan tepung beras mawur(butiran kasar) yang sudah matang kedalam selongsong bambu (bumbung) kecil-kecil. Ditambah rajangan gula jawa (gula merah) di tengah. 

Selanjutnya dipanasi uap air lewat lubang kecil dikotak kayu buatannya. Bau khas kue ini tercium menusuk hidungku, semerbak gurih.

"Saking pundi, mas?" (darimana, mas), tanya si bapak
"Saking ngeteraken adik kerjo, pak" (dari mengantar adik kerja, pak)

Tangan si bapak cekatan mengolah tepung beras untuk dijadikan puthu. Satu persatu bumbung berukuran kecil diletakkan diatas gelegak air panas lewat beberapa lubang. Cekatan, karena jam terbang si bapak sudah hitungan tahun.

"Kulo sadeyan niki sampun 38 tahun, mas" (saya berjualan ini sudah 38 tahun, mas), ucapnya sambil tersenyum.
"Saestu, pak?" (bener, pak)
"Inggih" (iya), sambil anggukkan kepala mencoba meyakinkanku.
"Aslinipun tiyang pundi, pak!" (aslinya orang mana, pak)
"Kulo tiyang Manyaran, mas" (saya orang Manyaran, mas)
"Manyaran Wonogiri?", tanyaku
si bapak menganggukan kepala memberi jawab.

Dari penuturannya, penjual kue puthu bumbung di wilayah Solo kebanyakan berasal dari Manyaran. Benarkah? Tempat ini pernah penulis kunjungi ketika mencari keberadaan air terjun Banyu Nibo. Tapi lucunya, si bapak malah kurang begitu tahu tentang obyek tersebut.

Setelah aku ceritakan kalau menuju obyek tersebut melewati kampung wayang, si bapak langsung memotong,"Woooalah, niku berarti Kepuhsari. Kampung wayang sampun kuncoro(kondang)"

Bapak yang berumur 57 tahun itu mengaku kalau berjualan puthu sebagai selingan. Petani adalah profesi utamanya. Setiap 10 hari sekali ia pulang ke desa menengok sawah dan ladangnya. Jarak Solo ke Manyaran memang tidak begitu jauh. 

Pengalaman penulis, hanya butuh sekitar 1 jam 30 menit untuk sampai ke sana. Apalagi jaman sekarang yang fasilitas transport banyak pilihan. Hal itu bukan sebuah masalah.

Pengakuan(klaim) si bapak bahwa penjual puthu bumbung betebaran di kota Solo kadang perlu dipertanyakan. Karena dibagian selatan-tempat penulis tinggal-tidak setiap saat bisa menemukan keberadaannya. Hanya satu penjual dengan memakai sepeda onthel. 

Ya, memakai pikulan pelan tapi pasti sudah banyak yang ditinggalkan dan dikonversi ke bentuk lain. Dibutuhkan kekuatan raga serta fisik lebih jika pikulan masih dipakai. 

Berbicara masalah pikulan, dulu sekitar era 80 an awal, dikampung penulis pernah ada penjual soto kwali, namanya pak Gito. Kalau membayangkan perjuangan pak Gito memikul dagangannya seperti Samson memindahkan batu besar berulang-ulang. 

Sebelah kanan kwali dengan kuah panasnya sedang sebelahnya lagi perangkat pendukung: nasi dalam wadah tenggok, mangkok, sendok, bumbu tambahan dan ubo rampe lainnya. Bisa bayangin beratnya? Berkeliling kampung.... Nggak deh.

Beberapa yang diuapi telah matang. Si bapak mengambil tongkat kecil untuk menyodok bumbung agar isinya keluar. Selembar Kertas minyak yang ukurannya telah disesuaikan dihambarkan dengan tambahan daun pisang diatasnya. 

Satu persatu kue tradisonal yang aslinya dari negeri Tirai bambu terkapar mengebul. Uapnya meliuk tipis disiang bolong yang panas. Tambahan parutan kelapa diatas tumpukan membuat tampilannya tambah sempurna.

Menurut sebuah sumber, puthu bumbung telah mengalami modifikasi isian. Di daratan Tiongkok, kue yang bernama Xian Roe Xiao Long ini aslinya berisi kacang hijau yang dilembutkan diolah sedemikan rupa. Kedatangan orang-orang Tiongkok ke Nusantara membawa budaya kuliner negerinya sehingga dikenal luas. 

Ditanah yang baru, isian puthu oleh penduduk pribumi diganti gula Jawa/gula merah. Hal itu dikarenakan gula jawa mudah didapatkan serta produksinya melimpah ruah.
 
Mengutip dari Republika, kue ini telah ada dimasa Dinasti Ming sekitar 1200 tahun yang lalu. Pada masa itu penyajiannya bersama dengan secangkir teh Longjin. Sedangkan nama puthu sendiri  muncul pada masa kerajaan Mataram dari naskah sastra Serat Centhini (1814 masehi).

Puthu bumbung identik dengan kue sore. Hal ini dikatakan karena biasa di sajikan sore hari sampai jelang malam. Pengalaman penulis diwaktu kecil memang membuktikan. 

Bila selesai mandi dan jam dikisaran angka 4, penjual puthu biasa lewat dengan pikulan bersama suara lengkingnya,"Puthuuuuuu.... Monggo ditumbasiiiiiii...." (puthuuuuuu.... Silahkan dibeliiiii....) suara sempritan dari letupan uap air menambah daya ketertarikan. 

Sambil ndhodhok (berjongkok), kami-anak anak kecil-mengitari pikulan melihat proses pembuatannya. Sorot mata kami berbinar-binar tertarik pada benda yang menimbulkan bunyi. Mirip kereta api tempo doeloe...tuutt....tuutt...tuutt...

Dibelahan nusantara yang lain, semisal suku Bugis di Sulawesi selatan, kue puthu versi mereka berbahan beras ketan hitam tanpa dikasih gula. Ini dimakan dengan taburan parutan kelapa dicocol sambal sebagai pengganti sarapan pagi yang praktis.

Perjalanan waktu telah menggeser beberapa cirinya. Yaitu, tidak harus sore, menjelang siang kue tersebut sekarang sudah bisa kita dapatkan. 

Kemudian bungkusnya sudah diganti kertas minyak, padahal dulu pakai daun pisang semua. Terus soal rasa, menurut saya tidak semua penjual mampu menampilkan rasa yang nendang. Penulis pernah dapat yang enak dan kurang begitu enak. Ada yang gurihnya kurang.

Bapak penjual telah merampungkan pesananku. Uang pun segera penulis bayarkan,
segera saja motor aku pancal meninggalkan si bapak.

"Wangsul rumiyin, pak" (pulang dulu, pak), pamitku
"Inggih, mas. Ngatos-atos" (iya, mas, hati-hati), jawab si bapak. (selesai)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun