Ya, memakai pikulan pelan tapi pasti sudah banyak yang ditinggalkan dan dikonversi ke bentuk lain. Dibutuhkan kekuatan raga serta fisik lebih jika pikulan masih dipakai.Â
Berbicara masalah pikulan, dulu sekitar era 80 an awal, dikampung penulis pernah ada penjual soto kwali, namanya pak Gito. Kalau membayangkan perjuangan pak Gito memikul dagangannya seperti Samson memindahkan batu besar berulang-ulang.Â
Sebelah kanan kwali dengan kuah panasnya sedang sebelahnya lagi perangkat pendukung: nasi dalam wadah tenggok, mangkok, sendok, bumbu tambahan dan ubo rampe lainnya. Bisa bayangin beratnya? Berkeliling kampung.... Nggak deh.
Beberapa yang diuapi telah matang. Si bapak mengambil tongkat kecil untuk menyodok bumbung agar isinya keluar. Selembar Kertas minyak yang ukurannya telah disesuaikan dihambarkan dengan tambahan daun pisang diatasnya.Â
Satu persatu kue tradisonal yang aslinya dari negeri Tirai bambu terkapar mengebul. Uapnya meliuk tipis disiang bolong yang panas. Tambahan parutan kelapa diatas tumpukan membuat tampilannya tambah sempurna.
Menurut sebuah sumber, puthu bumbung telah mengalami modifikasi isian. Di daratan Tiongkok, kue yang bernama Xian Roe Xiao Long ini aslinya berisi kacang hijau yang dilembutkan diolah sedemikan rupa. Kedatangan orang-orang Tiongkok ke Nusantara membawa budaya kuliner negerinya sehingga dikenal luas.Â
Ditanah yang baru, isian puthu oleh penduduk pribumi diganti gula Jawa/gula merah. Hal itu dikarenakan gula jawa mudah didapatkan serta produksinya melimpah ruah.
Â
Mengutip dari Republika, kue ini telah ada dimasa Dinasti Ming sekitar 1200 tahun yang lalu. Pada masa itu penyajiannya bersama dengan secangkir teh Longjin. Sedangkan nama puthu sendiri  muncul pada masa kerajaan Mataram dari naskah sastra Serat Centhini (1814 masehi).
Puthu bumbung identik dengan kue sore. Hal ini dikatakan karena biasa di sajikan sore hari sampai jelang malam. Pengalaman penulis diwaktu kecil memang membuktikan.Â
Bila selesai mandi dan jam dikisaran angka 4, penjual puthu biasa lewat dengan pikulan bersama suara lengkingnya,"Puthuuuuuu.... Monggo ditumbasiiiiiii...." (puthuuuuuu.... Silahkan dibeliiiii....) suara sempritan dari letupan uap air menambah daya ketertarikan.Â
Sambil ndhodhok (berjongkok), kami-anak anak kecil-mengitari pikulan melihat proses pembuatannya. Sorot mata kami berbinar-binar tertarik pada benda yang menimbulkan bunyi. Mirip kereta api tempo doeloe...tuutt....tuutt...tuutt...
Dibelahan nusantara yang lain, semisal suku Bugis di Sulawesi selatan, kue puthu versi mereka berbahan beras ketan hitam tanpa dikasih gula. Ini dimakan dengan taburan parutan kelapa dicocol sambal sebagai pengganti sarapan pagi yang praktis.