Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bertemu "Xian Roe Xiao Long" a.k.a Puthu Bumbung

3 Juni 2019   06:23 Diperbarui: 3 Juni 2019   07:19 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuliner. Sumber ilustrasi: SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com/Rembolle

Ya, memakai pikulan pelan tapi pasti sudah banyak yang ditinggalkan dan dikonversi ke bentuk lain. Dibutuhkan kekuatan raga serta fisik lebih jika pikulan masih dipakai. 

Berbicara masalah pikulan, dulu sekitar era 80 an awal, dikampung penulis pernah ada penjual soto kwali, namanya pak Gito. Kalau membayangkan perjuangan pak Gito memikul dagangannya seperti Samson memindahkan batu besar berulang-ulang. 

Sebelah kanan kwali dengan kuah panasnya sedang sebelahnya lagi perangkat pendukung: nasi dalam wadah tenggok, mangkok, sendok, bumbu tambahan dan ubo rampe lainnya. Bisa bayangin beratnya? Berkeliling kampung.... Nggak deh.

Beberapa yang diuapi telah matang. Si bapak mengambil tongkat kecil untuk menyodok bumbung agar isinya keluar. Selembar Kertas minyak yang ukurannya telah disesuaikan dihambarkan dengan tambahan daun pisang diatasnya. 

Satu persatu kue tradisonal yang aslinya dari negeri Tirai bambu terkapar mengebul. Uapnya meliuk tipis disiang bolong yang panas. Tambahan parutan kelapa diatas tumpukan membuat tampilannya tambah sempurna.

Menurut sebuah sumber, puthu bumbung telah mengalami modifikasi isian. Di daratan Tiongkok, kue yang bernama Xian Roe Xiao Long ini aslinya berisi kacang hijau yang dilembutkan diolah sedemikan rupa. Kedatangan orang-orang Tiongkok ke Nusantara membawa budaya kuliner negerinya sehingga dikenal luas. 

Ditanah yang baru, isian puthu oleh penduduk pribumi diganti gula Jawa/gula merah. Hal itu dikarenakan gula jawa mudah didapatkan serta produksinya melimpah ruah.
 
Mengutip dari Republika, kue ini telah ada dimasa Dinasti Ming sekitar 1200 tahun yang lalu. Pada masa itu penyajiannya bersama dengan secangkir teh Longjin. Sedangkan nama puthu sendiri  muncul pada masa kerajaan Mataram dari naskah sastra Serat Centhini (1814 masehi).

Puthu bumbung identik dengan kue sore. Hal ini dikatakan karena biasa di sajikan sore hari sampai jelang malam. Pengalaman penulis diwaktu kecil memang membuktikan. 

Bila selesai mandi dan jam dikisaran angka 4, penjual puthu biasa lewat dengan pikulan bersama suara lengkingnya,"Puthuuuuuu.... Monggo ditumbasiiiiiii...." (puthuuuuuu.... Silahkan dibeliiiii....) suara sempritan dari letupan uap air menambah daya ketertarikan. 

Sambil ndhodhok (berjongkok), kami-anak anak kecil-mengitari pikulan melihat proses pembuatannya. Sorot mata kami berbinar-binar tertarik pada benda yang menimbulkan bunyi. Mirip kereta api tempo doeloe...tuutt....tuutt...tuutt...

Dibelahan nusantara yang lain, semisal suku Bugis di Sulawesi selatan, kue puthu versi mereka berbahan beras ketan hitam tanpa dikasih gula. Ini dimakan dengan taburan parutan kelapa dicocol sambal sebagai pengganti sarapan pagi yang praktis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun