Bila kita bepergian, waktu selalu kita pakai sebagai patokan kapan berangkat kapan sampai ditempat. Oleh karenanya, keberadaan jam sangat di andalkan sebagai sarana pengingat agar tak alpa menjalani jadwal yang telah ditetapkan. Namun selain jam, ada beberapa tindakan seseorang dijadikan tanda ukur waktu oleh beberapa orang. Seperti yang penulis alami dan ketahui.
Kebiasaan kongkow di sebuah hik/wedangan di dalam kampung Gurawan, pasar Kliwon, Solo, melemparkan topik kemudian diolah jadi perbincangan hangat bahkan memercik tensi menjadi awal pertanyaan kenapa setiap kedatangan seorang tua dikoridor tengah kampung pasti muncul ujaran; "Pripun, mbah? Rame?" (bagaimana mbah? Ramai?)
"Alhamdulillah, mas" yang ditujukan pada kakek tersebut.
"Mulih pora, bro. Wis jam sepuluh lho?" (pulang tidak, bro. Sudah jam sepuluh lho?)
Awalnya, saya tidak menggubris. Tapi berulangkali bertandang ke komunitas itu, selalu saja ujaran tersebut dilempar manakala si kakek lewat. "Mulih ra? Wis jam sepuluh lho?" Dan memang benar, ketika jam di HP saya lihat, tampak menunjukkan pukul 22.00 wib (10 malam). Memang tidak selalu tepat, kadang kelebihan satu atau tiga menitan.
Siapakah orang tua itu hingga menarik perhatian dan menjadi penanda waktu buat komunitas kecil dikampung Gurawan? Ia adalah sosok tua dengan tampilan jauh dari kemewahan. Berselempang tas kain kumal bertongkat dengan hiasan beberapa lonceng kecil. Jalannya sedikit membungkuk, memakai baju koko putih mendekati kusam. Beberapa uban menyembul disela lingkar kupluk.
Suara kerincing berpadu suara ketukan ujung tongkat ke bumi menyeruak lepas, "Duk cring!....Duk cring!...duk cring!" berulang-ulang menegaskan kalau sang kakek datang.
Kabar burung yang beredar, si kakek adalah pengemis. Operasinya sekitaran masjid Agung alun-alun utara karaton Surakarta. Kalau kabar itu benar, berarti tebakan saya mis. Saya pikir si kakek seorang pemijat keliling, ternyata seorang kaypang seperti di rimba persilatan.
Sesekali kesempatan, saya memperhatikan gerak gerik kakek kaypang hingga menghilang ditelan malam diujung jalan. Hingga efek ekor jas menyembul: Berapa tahun ia mengabdi pada profesinya? Pasti sudah ratusan ribu kilometer jarak yang telah ia susuri. Dimana gubuk tempat tubuh rentanya di ninabobokan?
Ketika ragawi akan ditidurkan setelah lama dipaksa melakukan mobilitas, pikiran secara sekelebat sudah mencatatkan pukul berapa dirinya akan bangun nantinya. Dalam kondisi tertidur seringkali otak digedor oleh "sesuatu" sehingga nglilir (bangun ditengah malam). Kondisi ini, lepas dari kebetulan atau apa istilahnya, selalu dihadirkan oleh beberapa penanda waktu.
Misalnya ini (pengalaman pribadi), pukulan kentongan dikampung saya bisa dipastikan kalau jam menunjukkan tepat di dua malam. Jadi kebiasaan petugas ronda dikampung kami berkeliling di jam segitu. Atau bunyi decit putaran ban dari gerobak sampah sebagai pengingat kalau sisa-sisa kotoran rumah tangga telah masuk kontainer dan diangkut di jam lima kurang seperempat menit di pagi hari.