Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lily, Gadis Gunung Sampah

12 Agustus 2018   19:33 Diperbarui: 12 Agustus 2018   20:04 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mengaduk, memilah, mengelompokkan. Menata, memasukkan, menjual. Sebuah repetisi. Schedule tetap supaya bisa mengudap. Sangat cekatan. Semangat kaum marjinal.

Gadis pemungut sampah ; pagi dingin layar telah dikibarkan. Tidak perlu sikatan hanya kumur sebentar. Mengusap muka dengan semangkuk air. Panggilan kerja mengalahkan penampilan. Gunung  sampah Putri Cempo telah menanti. Harta karun kaum kesrakat. Gadis itu bergerak cepat bersenjata ganco. Keringat busuk menguar berleleran. Lekuk tubuhnya dibebat baju kemiskinan. Seperti Elektra; sabetan senjata andalan memecah belah timbunan sampah.

Matanya tajam mencari mutiara kumal botol air minum kemasan, plastik, kardus, karet sandal, besi rontokan, bahkan kalau beruntung ia memperoleh.....

"Emaaak! Aku dapat makanan!", teriaknya girang.

"Mana?". Emak bergerak menyongsong dirinya. Diendus buntelan hitam, "Belum basi". Wajah perempuan baya itu berbinar. "Makan dulu anakku. Tadi perut kita-kan belum diisi? Tuhan Maha Rahim".

Gadis pemungut sampah mencomot satu kue. Dikunyah dengan riang. Dua perempuan; anak-ibu berpelukan menggelar pesta kecil dipagi hari.

Bergelimang buangan sisa hasil rumah tangga dan industri rumahan mengajarkan emak bersyukur senyap. Disinilah arogansi manusia bisa mereka lihat. Jauh sebelumnya mereka kerap menemukan "keajaiban". Ya, "keajaiban!". Itu adalah barang-barang yang belum pernah mereka dapatkan. Mimpipun tidak. Sekotak donat brand terkenal, beberapa potong paha ayam goreng-dengan sedikit gigitan, celana dalam baru-yang mungkin si pembokat lalai terbuang.

Hari masih meniti. Lembah-ngarai ia jelajahi. Cekatan memilah, sigap memasukkan. Peluh menjilati tubuh. Wajah tirus belepotan kotoran gagal menyamarkan  kecantikan. Melihat sosoknya siapapun dijamin tersedak, diam sejenak. Sesuatu yang kontras! Kenapa ia disini? Harusnya bersama sebayanya berkutat dengan diktat-diktat, menyimak pitutur para guru, berseragam mendayung untaian cita.

Lily Suwandi, gadis gundukan sampah. Dipaksa rontok dari meja belajar sekolah. Tunggakan bayaran menjerat berat, terhempas dari gelanggang pendidikan formal. Tidak ada yang gratis di negeri ini. Dan ia harus tahu diri. 13 bulan sudah cukup baginya mengenyam pendidikan menengah atas dilembaga swasta. Kan ada BOS(bantuan operasional sekolah)? Ah, itu hanya "legenda" belaka karena tidak mampir kepadanya. Ia kecewa. Tapi apa mau dikata?

Ekor mata Lily selalu menelisik gerombolan anak sekolah yang kerap melewati tahtanya. Kadang ia mematung untuk sekedar menatap keberuntungan mereka.

"Kenapa anakku?". Emak sebenarnya tahu kegundahan permatanya. Ia gagal merangkai keinginan Lily.

Hanya nafas menderu, lirihnya tertangkap telinga emak, "Bisakah aku sekolah lagi?" kalau sudah begitu sudah pasti air mata emak merobek kelopak, jatuh mengalir.

Seperti pagi-pagi yang lalu, namun ini dengan rintik hujan. Lily masih sigap dan cekatan. Stigma gadis pemungut sampah kian lama disandang. Hampir 2 tahun. Dan wajah tirusnya makin tipis. Tulang pipi menonjol, tubuh tidak sepadat dulu. Rambut menggumpal bertopi rombeng dilesakkan sekenanya. Raut wajah disorder seperti menanggung kutukan hidup. Senyum hambar jauh dari kesan ramah. Setombak disebelahnya, emak semakin tua. Keriput mengental, timbunan uban laksana ladang kapas membanjiri kepala. Aroma "sedap" kawasan tersebut sukses meracuni hidup juang mereka. Lenguhan tembang kenestapaan melingkari sang gadis.

"Syukuri apa yang diberikan Tuhan kepada kita, anakku"

"Aku sudah terlalu bersyukur, mak! Bahkan syukurku telah lama rombeng seperti topiku!" dicomot topi dikepala dan dibanting keras. Fragment kekalutan ketidaksabaran mengapung. Lily menangis berkalung frustasi. Seniknya membuih terdengar. Jaman tidak berpihak padanya. Semua komponen nasib terpanggang rusak didapur magma.

"Tuhan telah mencampakkan kita, mak. Ia semakin asing bagiku"

"Anakku! Jangan kau ucapkan itu!" bibir renta itu bergetar. Ia kaget tak percaya kalimat serapah keluar gampang dari buah hatinya.

"Kemiskinan adalah penyakit sampar. Dan kita kena!"

"Darimana kau dapatkan kata-kata itu!"

"Pak Paijo !". Lily beranjak tergesa meninggalkan emak.

"Paijo!? Paijo sopir truk sampah?" teriak emak. "Sudah emak bilang, jangan dekat bandot tua itu. Bukankah dulu kamu mau diperkosa olehnya!". Suara emak samar membayang karena langkah Lily menjauh penat.

"Ayo berangkat! Jangan sampai kita kalah dini dengan yang lain". Emak bersiap.      "Badanku tidak enak, mak. Aku digubuk saja"  

"Kamu sakit?". Punggung telapak tangan perempuan itu menempel dijidat Lily.

"Istirahat saja dulu. Emak tinggal ya?"

Lily mengangguk lemah. Wanita renta padang kekumuhan beranjak lenyap. Dalam hening gadis pemungut sampah menembang:

Seperti inikah hidupku / mendayung sampan digeretak sampah / seperti inikah nasibku / menunggu malaikat berkubang racun / jiwaku terkoyak kesengsaraan mengigau dapat kesempurnaan / Tuhan tak mau tahu / aku teracuni bersama emakku/ aku, kemiskinan dan keinginan adalah kombinasi buruk di bumi Tuhan

Bibir Lili berdengung bak lalat dilautan. Belum berhenti, ini merupakan pengaduan pada sang angin. Diharapkan membawa keluhannya pada Tuhan langit. Ia berharap, fajar baik menyambut impiannya. Dan sampai saat ini hal itu belum mewujud.

"Sudah siap?". Paijo berdiri sedikit membungkuk dipintu gubuk. Matanya menatap Lily tanpa berkedip. "Sudah, pak". Lily beranjak dan menggandeng lelaki baya itu. Berdua meninggalkan gubuk reot dengan hujaman rintik hujan pagi.

Emak bergerak kesetanan. Tanda bahwa kepanikan merajam pikiran. Rautnya membayang pasi. Sudah 7 hari Lily tidak pulang. Selama kurun waktu tersebut ia menyatroni kuli-kuli pengangkut sampah menanyakan keberadaan Paijo yang ternyata juga menghilang tidak meninggalkan jejak. Menurut penuturan seorang kuli sampah, pak Paijo cuti beberapa hari dan kemudi digantikan oleh seseorang.

"Bandot tua manusia kunyuk! Akan aku cacah kalau ketemu!" . Kelakuan emak mirip serdadu jebolan perang Vietnam. Raung amarahnya mengalahkan gelombang samudera Hindia Belanda. Mondar-mandir tanpa arah pasti. Kekesalannya berujud caci-maki. Meledak diudara!  Nafasnya konstan menderu pertanda ubun-ubun disesaki amarah merah.

Namun akhirnya kelelahan menyurutkan tsunami itu. Emak duduk berpunggung onggokan barang-barang rosok. Menerawang jumpalitan nanar. Air mata berleleran menerjang debu diparas keriput. Kesedihan mendapat tempat. Akhirnya emak tertidur. Angin busuk meninabobokan makhluk renta berkalung nestapa. Membelai penuh tanpa pamrih.

"Emak bangun". Tangan halus berbalut wangi tubuh menempel lembut kulit keriput. Emak terjaga,"Lily! Darimana saja kau?". Dihadapan emak berdiri Lily dengan tampilan anggun. Perempuan itu tercekik.  "Apakah kamu menjual dirimu hanya ingin memakai barang-barang bagus!?".

"Mak, jangan salah sangka dulu". Tangan emak menepis jangkauan Lily. Kemarahan sudah dimasak enak diubun-ubun. Setan berjingkrak sempoyongan senang.

"Cepat copot pakaianmu! Atau emak yang akan melakukan!?". Sebuah adegan haru biru pecah dikawasan pembuangan sampah. Baju Lily dikoyak tangan kemurkaan,  keributan mengundang sesama pemulung melerai agar tak berlanjut.

"Sudah mak...sudah..". "Istighfar..."

Lily sesenggukan dipelukan suasana. Tsunami melahap ujaran penjernihan. Semua penghalang tuk sementara menyingkir memberi ruang pelunasan. Hati gadis itu tersayat perkataan emak. Rekan-rekan sesama pemulung menyarankannya menjauh dari amarah. Gontai langkah menusuk hampar timbunan, melangkahi sisa-sisa kesombongan produk manusia sembari memeluk tubuhnya ditengah desir angin Februari.

Koridor rumah sakit lengang. Taman tengah penuh tingkah polah aneh. Diantara tatanan bunga segar milik otoritas, disanalah kaum yang dipinggirkan oleh stigma-malu pada masyarakat bila salah satu anggotanya menderita gangguan jiwa-berkumpul melakukan ritual penyembuhan. Serombongan kecil arus pasang memasuki kawasan keramat. "Kearah sana". Telunjuk pak Paijo mengarah ke ruang khusus di utara.

Disepanjang langkah, mata mereka disungguhi keanehan akibat gempuran pusaran siklon kehidupan. Ketidakmampuan menghadapi siklon mengakibatkan manusia-manusia mengalami tamparan trauma berkepanjangan. Terjengkang  dan terkapar jiwanya. Masih beruntung mereka disini. Beberapa rekan mereka bergentayangan dijalanan bahkan tanpa belas kasihan. Ironis.

Ruangan itu sungguh luas dibanding gubuk emak. Bersih berhawa bunga karbol.

"Itu istri saya, mak". Seorang perawat penjaga mempersilahkan mereka mendekat.

"Biar Lily dulu yang menyambangi. Kita disini melihat. Lily". Pak Paijo memohon. Lily mengikuti arus perkataan. Dan perempuan disorientasi itu mengerjap ketika melihat seorang berjalan kearahnya. Ia memeluk. Lily membiarkan tubuhnya di"cengkeram" jiwa yang tergoncang. Emak belum juga mengerti dengan kondisi ini.

"Saya minta bantuan Lily untuk membantu penyembuhan istri saya. Memang tidak sopan. Tapi kondisinya memang diterjang keterdesakan". Pria itu menggandeng emak menuju bangku duduk. "Ia mengalami goncangan ketika putri kami meninggal karena kecelakaan. Semuanya mirip Lily. Makanya ketika perjumpaan pertama saya kaget. "Putri" ku ada di pembuangan sampah?"

"Jadi?". Emak minta penjelasan.

"Kabar yang menari-nari ditelinga emak adalah bohong. Saya juga tahu keadaan Lily dari rekan-rekan emak sesama pemulung. Lebih jauhnya saya meminta Lily"

Tangan jiwa disorientasi menangkup paras Lily. Dibelai dengan kasih selembut salju Antartika. Pengharapannya terpenuhi sesak. Ia menangis. Sebuah langkah baik menuju kecerahan hidupnya. "Putri"nya telah hadir kembali.   "Bolehkan?". Sopir truk sampah kabupaten memohon penuh harap.  "Saya sudah punya rencana buat kalian keluarga baruku. Lily harus sekolah lagi. Emak jadi pengepul saja. Tinggalkan kehidupan di gunungan sampah.

Saya hanya menyodorkan keikhlasan sebagai jaminan. Setuju-kan, Mak?!". Kalimat sedikit halus berbobot memaksa. Perempuan penuh uban itu belum menjawab. Tapi dari gesture kelihatan kalau ia pasrah setuju. Semuanya demi masa depan serta harapan anak semata wayangnya.

"Menurut dokter yang merawat akan lebih baik kalau "putri"nya selalu nampak dalam kehidupannya. Itu akan mempercepat harapan"

Dua makhluk Tuhan mendekat kearah perbincangan. Emak menatap tanpa mengerti gerak mereka. Arus pasang kecil itu berkumpul membuat lingkaran. Mencoba melakukan "transaksi" dibawah atap kayu. Hawa basah musim hujan tersapu samar pertunjukan awan berarak. Matahari lumayan terik menjilat bumi Tuhan.

Untuk sementara kesepakatan kecil terbentuk. Sebuah keluarga baru sepertinya akan muncul di tahun ini. Setelah sekian lama hilang diterjang rakusnya pasang surut kehidupan. Pemunculannya memang sudah digariskan Sang Pemilik Kekuatan Maha Dahsyat. Dan harapan setiap orang telah tergenggam dengan mantap untuk merangkum  pecahan asa yang berkeliaran di pelupuk.[]SELESAI

Solo. Medio 2012

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun