Hanya nafas menderu, lirihnya tertangkap telinga emak, "Bisakah aku sekolah lagi?" kalau sudah begitu sudah pasti air mata emak merobek kelopak, jatuh mengalir.
Seperti pagi-pagi yang lalu, namun ini dengan rintik hujan. Lily masih sigap dan cekatan. Stigma gadis pemungut sampah kian lama disandang. Hampir 2 tahun. Dan wajah tirusnya makin tipis. Tulang pipi menonjol, tubuh tidak sepadat dulu. Rambut menggumpal bertopi rombeng dilesakkan sekenanya. Raut wajah disorder seperti menanggung kutukan hidup. Senyum hambar jauh dari kesan ramah. Setombak disebelahnya, emak semakin tua. Keriput mengental, timbunan uban laksana ladang kapas membanjiri kepala. Aroma "sedap" kawasan tersebut sukses meracuni hidup juang mereka. Lenguhan tembang kenestapaan melingkari sang gadis.
"Syukuri apa yang diberikan Tuhan kepada kita, anakku"
"Aku sudah terlalu bersyukur, mak! Bahkan syukurku telah lama rombeng seperti topiku!" dicomot topi dikepala dan dibanting keras. Fragment kekalutan ketidaksabaran mengapung. Lily menangis berkalung frustasi. Seniknya membuih terdengar. Jaman tidak berpihak padanya. Semua komponen nasib terpanggang rusak didapur magma.
"Tuhan telah mencampakkan kita, mak. Ia semakin asing bagiku"
"Anakku! Jangan kau ucapkan itu!" bibir renta itu bergetar. Ia kaget tak percaya kalimat serapah keluar gampang dari buah hatinya.
"Kemiskinan adalah penyakit sampar. Dan kita kena!"
"Darimana kau dapatkan kata-kata itu!"
"Pak Paijo !". Lily beranjak tergesa meninggalkan emak.
"Paijo!? Paijo sopir truk sampah?" teriak emak. "Sudah emak bilang, jangan dekat bandot tua itu. Bukankah dulu kamu mau diperkosa olehnya!". Suara emak samar membayang karena langkah Lily menjauh penat.
"Ayo berangkat! Jangan sampai kita kalah dini dengan yang lain". Emak bersiap. Â Â Â "Badanku tidak enak, mak. Aku digubuk saja" Â