"Cepat copot pakaianmu! Atau emak yang akan melakukan!?". Sebuah adegan haru biru pecah dikawasan pembuangan sampah. Baju Lily dikoyak tangan kemurkaan, Â keributan mengundang sesama pemulung melerai agar tak berlanjut.
"Sudah mak...sudah..". "Istighfar..."
Lily sesenggukan dipelukan suasana. Tsunami melahap ujaran penjernihan. Semua penghalang tuk sementara menyingkir memberi ruang pelunasan. Hati gadis itu tersayat perkataan emak. Rekan-rekan sesama pemulung menyarankannya menjauh dari amarah. Gontai langkah menusuk hampar timbunan, melangkahi sisa-sisa kesombongan produk manusia sembari memeluk tubuhnya ditengah desir angin Februari.
Koridor rumah sakit lengang. Taman tengah penuh tingkah polah aneh. Diantara tatanan bunga segar milik otoritas, disanalah kaum yang dipinggirkan oleh stigma-malu pada masyarakat bila salah satu anggotanya menderita gangguan jiwa-berkumpul melakukan ritual penyembuhan. Serombongan kecil arus pasang memasuki kawasan keramat. "Kearah sana". Telunjuk pak Paijo mengarah ke ruang khusus di utara.
Disepanjang langkah, mata mereka disungguhi keanehan akibat gempuran pusaran siklon kehidupan. Ketidakmampuan menghadapi siklon mengakibatkan manusia-manusia mengalami tamparan trauma berkepanjangan. Terjengkang  dan terkapar jiwanya. Masih beruntung mereka disini. Beberapa rekan mereka bergentayangan dijalanan bahkan tanpa belas kasihan. Ironis.
Ruangan itu sungguh luas dibanding gubuk emak. Bersih berhawa bunga karbol.
"Itu istri saya, mak". Seorang perawat penjaga mempersilahkan mereka mendekat.
"Biar Lily dulu yang menyambangi. Kita disini melihat. Lily". Pak Paijo memohon. Lily mengikuti arus perkataan. Dan perempuan disorientasi itu mengerjap ketika melihat seorang berjalan kearahnya. Ia memeluk. Lily membiarkan tubuhnya di"cengkeram" jiwa yang tergoncang. Emak belum juga mengerti dengan kondisi ini.
"Saya minta bantuan Lily untuk membantu penyembuhan istri saya. Memang tidak sopan. Tapi kondisinya memang diterjang keterdesakan". Pria itu menggandeng emak menuju bangku duduk. "Ia mengalami goncangan ketika putri kami meninggal karena kecelakaan. Semuanya mirip Lily. Makanya ketika perjumpaan pertama saya kaget. "Putri" ku ada di pembuangan sampah?"
"Jadi?". Emak minta penjelasan.
"Kabar yang menari-nari ditelinga emak adalah bohong. Saya juga tahu keadaan Lily dari rekan-rekan emak sesama pemulung. Lebih jauhnya saya meminta Lily"