Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rotan Berkerut Kalut

21 Juni 2018   09:22 Diperbarui: 21 Juni 2018   09:39 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay.com)

Sloki berjalan searah jarum jam. Mirip pion dalam permainan monopoli. Diisi cairan sengat lalu diteguk dan diisi lagi. Siapa yang ketiban untung bila cairan didalamnya melompat kemulut. Permainan atas ide pak tua yang datang ke penginapan ini menjadi pembuka relasi mendalam terhadap lima anak muda yang nongkrong di gardu penjaga.

Laki-laki tua berkerut ngarai menyinggahi kota ini tepat bersamaan dengan bulan purnama bulat sempurna bersinar menyebar agung. Meramu basa-basi menawarkan selubung pengusir dingin berbentuk oplosan cairan menengah. Mencoba memainkan peran digelap malam.

Lewat mulutnya keluar sepenggal narasi tentang maksud kedatangannya dikota ini. Andalas ia tinggalkan melompati selat sunda. Ribuan jangkar sempurna dijejaki. Hiruk pikuk pelabuhan, getar dingin diudara fajar, sengatan surya, infrastruktur jalan dengan limpahan lubang, razia aparatur di lekukan siang hingga hantaman keletihan memamungkasi keperkasaan raga.

Ditengah permainan, kamu berpetuah tentang hitam-putihnya dunia, jingga kelabu nasib anak manusia, menyitir ayat-ayat Tuhan, mencoba memasukkan ideologi kontradiktif. Disela cairan neraka yang kamu obral, ocehanmu bertabur batu apung. Beberapa negeri dibelahan dunia telah kau singgahi. Uzbekistan salah satu tempat singgahmu. Negeri asia tengah itu kau sebut asal muasal batik. 

Wah, kamu mencoba membodohi lima anak muda itu.  Ketika satu diantara mereka-gagal kau bujuk ikut permainan gilamu-menyerangmu dengan pisau pertanggungjawaban, kau berkelit. 

Argumen yang ia minta tak kau sodorkan. Kau memaksa mengalihkan pembicaraan masalah Uzbekistan.  Terdesak ditubir malu. Beruntung anak muda waras itu menyudahi mengejarmu. Ia harus menghormati tamu yang menginap. Jangan sampai membuat tamu manapun malu dan tak datang kali kedua.

Digardu penjaga itu kau berlagak seperti pertapa. Lontar-lontar ilmu digelontorkan, termasuk ajaran suci kitab suci. Bahkan ayat-ayat setan kau dedah sebagai taburan intermezo.

Jalanmu pincang. Tertatih seperti pengantin sunat. Masih dengan pongahnya, cikal bakal pincangmu hasil kecelakaan tunggal. Seperti sebuah kebanggaan, Mount Elisabeth-Singapura kau pamerkan mampu memulihkan otakmu yang gagal merespon angin segar dunia yang menyapa. Kau koma, rohmu menari-nari. Seluruh rumah sakit di republik ini angkat tangan mengurus masalahmu.

Takdir hidupmu masih cerah. Izroil mengurungkan sabetan beliungnya karena Tuhan begitu sayang padamu.

"Beruntung keluarga saya kaya. Kalau tidak mungkin saya mati", ujarnya sambil meneguk oplosan tengik. Tawa berderai melingkupi gardu berbentuk kotak sama sisi.

Kalau diikuti semua omongannya, Pak tua ini macam petaka yang dijatuhkan bomber B-29 di Hiroshima-Nagasaki. Cerita  spektakuler kau kupas, kau hidangkan sebagai penegas bahwa kamu manusia bersenjata multitalenta. Tanya jawab antara kau dengan lima anak muda membuat kau terhenyak. Kau tidak menyangka bahwa latar belakang ke limanya beragam. Salah satunya berprofesi sebagai penulis. 

Tidak mau kalah, bualanmu kian menjadi. Mengaku kerap menulis, tulisanmu pernah dimuat 4 kali berturut-turut tanpa jeda di sebuah media cetak nasional-padahal para penulis dinegeri ini mengakui betapa tidak gampang melewati palang pintu dewan redaksi koran tersebut, tapi kau berkoar selangit itu bukan perkara sulit buatmu-.Dikira komunal muda itu anak bau susu. Tatkala kau disergap kembali dengan tanggapan kritis, lagi-lagi jurus kelitmu mengapung. 

Dari premis awal omonganmu satu dari mereka berkeyakinan bahwa kau memang pembual berat. Karena kau tamu yang memberi masukan cukup bagus-sudah 6 hari ragamu tertambat di kamar 23 A-mereka ladeni saja polahmu.

Kembali pada sloki. Perputarannya mengherankan, pak tua itu selalu lolos dari cairan alkohol. Ada yang tidak beres, ia mampu mengecoh tiap putaran sloki. Sudah pasti empat anak muda dihadapannya dibombardir berslok-sloki oplosan alkohol. Efeknya, omongan mulai nirorientasi.

"Uang saya masih banyak, yang masih kuat silahkan beli"

Dompet ia keluarkan. Lembaran-lembaran proklamator menyembul rapi jali. Komunal muda diam. Entah apa yang sedang mereka kecamukkan.

"Enggak usah malu. Mumpung saya masih menginap di sini"

Malam tak dapat dihentikan. Pekat mendapat tempat sesuai porsinya. Bintang-gemintang bernyanyi dengan cara kelap-kelip membentuk kelompok rasi. Memberi pencahayaan semampu mereka. Geliat dingin menggigit kulit. Bila disandingkan dengan alkohol hasil oplosan cukup meledakkan sensasi.

"Siapa yang bisa mencarikan kerudung binal?"

Ah benar adanya. Manusia bila berada dipuncak kejayaan senang berulah. Anak cucumu serimbun semak. Gemar mengadu alat kelamin tetap prioritasmu. Sudah berapa kali rotan berkerutmu kau adu? Setiap tempat yang kau jamah kegemaranmu mencari lawan tanding. Kami tidak tahu sudah berapa lubang kau jajah. Wanita-wanita seusiamu cucumu kau sikat tandas.

"Sebagai peyegaran. Hidup jangan lurus-lurus saja. Pengalaman harus dicari dimanapun tempat".

Sebuah pembenaran kau tumpahkan dihadapan kami. Kalau dipikir, kau sebenarnya bangsat berujud semangka.

"Ini uang rakyat. Jadi harus saya kembalikan kepada pemilik kedaulatan"

Dasar kadal tua! Begini caranya mengambalikan uang rakyat? Ada kompensasi bagi mereka? Ini sebuah transaksi lendir. Tak pernah ada kedaulatan kalau modelnya begini.

"Ada yang bisa bantu?"

"Cari saja di akuarium, pak". Saran satu dari kami.

"Ya sudah saya akan ke akuarium. Ada yang yang mau mengantarkan?"

Kelima anak muda itu saling pandang. Saling menunggu respon antar kawan. Akhirnya dari kami mau mengantarkan si rotan berkerut ke kawasan merah.

Beranjaklah ia dengan dibonceng motor. Malam dengan pendar-pendar cahaya bertepuk tangan mengawal keberadaan manusia tua.

Pesta harus diakhiri. Beberapa gelintir botol disingkirkan agar pemilik penginapan tidak tahu. Penginapan ini berkonsep Islami. Pemiliknya seorang pengusaha yang cukup ternama di belantara bisnis. Sebenarnya memberi peluang pada pak tua untuk menyantap kerudung binal di penginapan ini sudah melanggar aturan. Bisa saja kami melarang, tapi kemurahan kadal tua itu mampu mereduksi aturan yang kami pegang. Ada rasa was-was andai pemiliknya tahu ada perang laga di salah satu kamar.

Kadang kebaikan seseorang mampu merebus sesaat aturan ketat. Kelompok lima dipermainkan pikiran sendiri-sendiri. Lagaknya beragam, pegang dagu memelintir jenggot yang  tumbuh 4 lembar, mendekapkan kedua telapak tangan diwajah, dan seterusnya. Entah apa yang menjadi fokus mereka.

Detak waktu terus berjalan tanpa mempedulikan irama malam. Sepoi-sepoi aroma bangsat mengebul menari-nari melingkupi hingga pelataran. Tempat ini sudah ternoda.

Kelompok lima mematung bersedekap. Paras-paras putus asa kian terbentuk. Satu dari mereka berkelakuan bajingan. Sayangnya malam ini ia tidak mendapat tempat. Salah sendiri, diawal sudah ditawari oleh rotan berkerut, siapa yang mau kerudung binal. Tapi ogah-ogahan, entah kenapa tawaran tadi ditolak.

Waktu kian massif memejam. Dipencahayaan ultra wayang suket pentas tanpa dalang-almarhum-Ki Slamet gundono, dua batang suket menari super ego. Jelalatan tanpa benang. Langit pelahan-lahan berjingkat menepi.

Kerudung binal keluar gemulai menebar pesona mata. Ditangannya tertenteng bungkusan plastik hitam. Kelompok lima terperangah melihat lekuk sosok dihadapan mereka.

"Pesanan dari dalam". Kalimat pendek bertabur seringai mawar berduri tajam. Bungkusan digeletakkan  diatas meja pos penjaga. Tanpa jeda lama ia terbang cepat menaiki taksi yang dari tadi menunggu terkantuk-kantuk.

Berebut. Semua ingin yang pertama mengetahui kiriman dari pak tua Andalas. Bungkusan terbuka menantang. Selembar kertas menyembul duluan bertuliskan: Pembalasan Dari Pemilik Kedaulatan! Dibawahnya tergeletak rotan berkerut terpotong melengkung. Edan! Mutilasi eksotis!

Geger. Gemuruh kehebohan meledak dipelataran penginapan. Teriakan tanpa irama menyentak diujung fajar seperti gajah gaduh membangunkan sang pawang. Pak tua telah di-mayang prasetyo-kan. Kelompok lima muntah-muntah habis tandas tanpa sisa. Mereka dijadikan saksi atas kasus ini. Gelagapan dicerca puluhan pertanyaan. Stress, tertekan pasrah melingkupi wajah.

Wacana pembentukan pansus guna menyelesaikan kasus dibentuk. Apa-apaan ini? Korban mutilasi adalah anggota parlemen. tepatnya pak tua adalah senator di gedung kura-kura. Koleganya tidak terima atas perlakuan yang menimpa karib mereka. 

Ini negara hukum, semua harus diletakkan pada aturan hukum. Tapi kenapa harus dibentuk pansus? Bukankah ada aparatur polisi? Anggota dewan mempunyai cara sendiri untuk menyelesaikan kasus ini. Apa sih yang tidak bisa dilakukan oleh anggota dewan di republik ini? Penyidik dipaksa untuk angkat tangan seolah-olah tak sanggup bekerja. Dibawah sorot media massa pansus bekerja siang malam bak mesin pabrik.

Tanpa metode jelas serta tanpa niat ikhlas(mana ada sih senator yang ikhlas?) nir tongkat penyangga bak menggantang asap. Pansus hanya ajang komersialisasi. Ini semua permainan. Republik ini telah dibuat main-main. Pembentukan pansus adalah bentuk kekalapan para senator.

Akar rumput geram. Gigi gemelutuk tangan mengepal. Kedaulatan rakyat dipermainkan.

"Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk"(QS.2:16)

Selarik warna jingga terpampang buram diufuk timur bukti sang fajar tekun menunaikan tugas. Geguritan hidup berkah takdir bagi anak-anak bumi. Sementara langit tetap mengawasi, mencatat sejarah manusia. Dimanapun dan kapanpunSelesai]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun