Apalagi, baru seusia bocah sudah dipanggil: "kakak". Agak aneh memang seorang ayah memanggil anaknya dengan sebutan itu. Anak akan merasa super. Hebat. Ia merasa tak terkalahkan. Dalam hal apapun, ia harus menjadi nomor satu. Bisa jadi ia menganggap orang lain tak selevel dengannya.
Dalam hal-hal tertentu ini berdampak positif. Misalnya, ia akan belajar rajin, supaya menjadi juara kelas, ia tekun berlatih supaya terampil.Juga, anak akan berusaha supaya tak seorang pun bersaing dengannya. Hanya dia sang juaranya.
Namun, dampak negatif akan kuat terasa jika diberikan jabatan dan kursi kuasa. Ketimpangan relasi anak-orangtua akan terlihat jelas pada ketimpangan relasi jabatan dan kekuasaan. Perundungan akan mekar dan berseri di sini. Rekan kerja cenderung dilihat sebagai lawan. Apalagi bawahan tak diperhitungkan. Kritik dan saran dianggap senjata untuk menyingkirkannya.
Orang-orang seperti ini cepat tersinggung. Ia mudah merasa tidak dihargai. Ia cepat merasa tidak dihormati. Ia lebih merasa senior daripada yang lain, terutama terhadap pegawai yang baru masuk. Baginya, yang lain bukan siapa-siapa, tak sebanding dengannya. Akibatnya, perundungan terjadi, perilaku kasar terhadap sesama pun tak terhindarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H