Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pola Asuh Anak dan Perundungan

5 September 2021   03:06 Diperbarui: 5 September 2021   05:37 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay.com

Sebuah keluarga menceritakan pengalaman mendidik anak kepada saya. Mereka memiliki seorang anak tunggal. Putri satu-satunya itu. Sebagai anak semata wayang buah cinta, pasangan muda itu perlakukan sang anak dengan sungguh istimewa. Serba dilayani dengan sempurna. Anak meminta apa saja diberikan. Keinginan apa pun dipenuhi.

Pada saat makan bersama, sang anak dipersilahkan mengambil makanan lebih dahulu. Baru kemudian sang ayah dan ibu. Jika masakan kurang begitu lezat, tak segan-segan sang anak protes. Acapkali, katanya, ia langsung membuang nasi di lantai. Sang ayah yang sangat sayang anaknya, cepat-cepat membersihkan. Ibunda agak cerewet, mengomel sedikit, lalu hati cepat luluh. Mereka tak kuat hati melihat anak satu-satunya itu merengek, menangis, apalagi meronta-ronta.

Perlakuan atas nama sayang anak pun berlanjut. Nama anak sebenarnya Maria Alisa Leba, dipanggil Alisa. Tapi, kemudian diganti: "kaka", yang berarti kakak, panggilan untuk seseorang yang beda usia lebih tua. Biar lebih terkesan menyayangi lebih sungguh, katanya.

Sejak masih kecil, mereka sudah terbiasa menyapanya, "kaka". Bahkan Alisa sendiri sudah lupa namanya ketika ditanya tetangga/teman-teman sekompleknya. "Panggil saja aku, 'kaka'," katanya. Dan, tetangga pun ikut memanggilnya: "kaka".

Tibalah pendaftaran sekolah dibuka. Alisa didaftarkan pada sebuah sekolah swasta ternama. Nama Maria Alisa Leba disodorkan kepada panitia penerimaan murid baru (PMB), lengkap dilampirkan dengan Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga. "Anak Ibu biasa dipanggil siapa, Bu?," tanya panitia PMB. "Alisa," jawab ibunya singkat.

Kegiatan belajar-mengajar dimulai. Kala itu masih tatap muka. Pada papan denah kelas, jelas terbaca: Alisa. Guru-guru memanggilnya, Alisa. Teman-temannya memanggilnya dengan nama yang sama. Mereka tidak tahu, bahwa di rumah, Alisa biasa disapa dengan panggilan kesayangannya, "Kaka".

Waktu berjalan. Alisa murung. Kadang dia tidak bermain bersama teman-teman saat istrahat. Ia sering menyendiri.  Inginnya tidak mau ke sekolah lagi. Perubahan perilaku ini terbaca oleh ibunya. Kepada ibunya, ia protes, tidak mau sekolah lagi. Sebab, di sekolah teman-temannya tidak memanggilnya: "kaka", dan ia merasa tidak dihargai.

***

Saya becermin pada kisah Alisa di atas. Pola asuh anak yang terlalu manja bisa jadi bom waktu, baik bagi orangtua maupun masa depan sang anak.

Bibit-bibit perundungan (bullying) bisa jadi dimulai dari sini. Ketimpangan relasi anak-orangtua turut memicu perundungan. Sejak kecil anak sudah dididik, bahwa dialah yang utama, apa-apa selalu didahulukan. Keinginannya harus dipenuhi.

Apalagi, baru seusia bocah sudah dipanggil: "kakak". Agak aneh memang seorang ayah memanggil anaknya dengan sebutan itu. Anak akan merasa super. Hebat. Ia merasa tak terkalahkan. Dalam hal apapun, ia harus menjadi nomor satu. Bisa jadi ia menganggap orang lain tak selevel dengannya.

Dalam hal-hal tertentu ini berdampak positif. Misalnya, ia akan belajar rajin, supaya menjadi juara kelas, ia tekun berlatih supaya terampil.Juga, anak akan berusaha supaya tak seorang pun bersaing dengannya. Hanya dia sang juaranya.

Namun, dampak negatif akan kuat terasa jika diberikan jabatan dan kursi kuasa. Ketimpangan relasi anak-orangtua akan terlihat jelas pada ketimpangan relasi jabatan dan kekuasaan. Perundungan akan mekar dan berseri di sini. Rekan kerja cenderung dilihat sebagai lawan. Apalagi bawahan tak diperhitungkan. Kritik dan saran dianggap senjata untuk menyingkirkannya.

Orang-orang seperti ini cepat tersinggung. Ia mudah merasa tidak dihargai. Ia cepat merasa tidak dihormati. Ia lebih merasa senior daripada yang lain, terutama terhadap pegawai yang baru masuk. Baginya, yang lain bukan siapa-siapa, tak sebanding dengannya. Akibatnya, perundungan terjadi, perilaku kasar terhadap sesama pun tak terhindarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun