Di titik inilah, pandemi Covid-19 mengajak manusia pentingnya menjaga hubungan yang saling menguatkan kehidupan, antara iman dan akal sehat, dogma agama dan pengetahuan, hingga teologi dan filsafat. Singkatnya, iman harus berdampingan dengan kemajuan teknologi (buah dari ilmu pengetahuan).
Termasuk iman akan kematian, para ilmuwan mengatakan, kematian bukanlah ketetapan Allah. Ada pendapat yang lebih lunak, kematian bukan atas campur tangan Allah semata. Kematian, tidak lain, adalah problem teknis. Virus corona yang menyerang paru-paru-bagian pernapasan manusia merupakan kegagalan teknis itu. Disebabkan, oleh seseorang yang sudah terpapar, ia bersin, batuk, dan virus-virus itu menyebar ke orang lain.
Berteologi tentang Vaksin
Kegagalan teknis, dalam ilmu pengetahuan, selalu menawarkan solusi. Solusi pun sangat teknis. Contohnya, konsep 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas).Â
Sambil, para ilmuwan kesehatan 'memutar otak' (berpikir) cepat. Mereka merancang solusi teknis lain, untuk membendung mutasi virus. Jadilah, vaksin, untuk keselamatan umat manusia.
Peralihan (passing over) konsep beriman yang rasional akan lonceng kematian akibat Covid-19 di atas sangat kontekstual. Diharapkan manusia menerima vaksin tanpa syarat. Vaksin adalah  wacana iman berdasarkan nalar akal sehat. Saya kecantol menggunakan istilah, 'teologi vaksinasi'.Â
Artinya, siap dan menerima vaksin sebagai buah kerja akal sehat manusia, sebab Allah sendiri menciptakan manusia lengkap dengan akal/otak untuk berpikir, menemukan solusi-solusi praktis atas setiap problem penyakit Covid-19.
Konkretnya...
Konkretisasi teologi vaksinasi yakni: pertama, melengkapi (bukan menghapus) konsep kematian dengan ilmu pengetahuan. Ini memang sulit. Pemuka agama tradisonal (yang jarang membaca perkembangan ilmu pengetahuan) pasti protes keras. Tapi, pandemi Covid-19 memaksa segera, bahwa, kematian bukan rancangan Allah semata.
Kematian adalah kegagalan teknis. Manusia kurang menjaga kesehatan diri, sesama dan lingkungannya. Misalnya, manusia  mungkin sudah terbiasa bersin, batuk dan buang air ludah/ingus di sembarang tempat.
Kedua, kematian akibat pandemi Covid-19 membuat manusia mesti melipatgandakan upaya untuk melindungi nyawa. Dengan perkembangan pengetahuan, manusia diharapkan bisa mengatasinya. Contohnya, para ahli kesehatan memastikan secara sungguh, bahwa uji laboratorium vaksin Covid-19 itu valid dan berkhasiat.