Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Teologi Vaksinasi

26 Januari 2021   13:46 Diperbarui: 26 Januari 2021   18:43 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yuval Noah Harari, penulis Israel dalam 'Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia' (2018) mengatakan, ada tiga hal yang membayangi eksistensi Sapiens (manusia modern) adalah perang, kelaparan dan wabah penyakit (war, famine, dan plague). Ketiganya, membawa dampak kematian. Entah dengan cara dikuburkan atau dikremasi, kehidupan manusia berakhir. Manusia menjadi mati.

Suatu malam saya melewati jalan setapak. Melintas pada sebuah pekuburan. Saya merinding. Bulu kuduk berdiri. Saya takut. Pasalnya, baru sore tadi, seorang pasien positif Covid-19 di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), dikuburkan. Persis pinggir sisi setapak itu, lilin masih bernyala.

Kesan Menakutkan 

Ingatan akan kuburan adalah memori tentang sesosok mayat, yang terbujur kaku, dilampirkan kain putih, dan kadang dimasukkan dalam peti. Peti lalu dikuburkan di dalam lubang 2-3 meter. Ditimbun tanah. Potongan-potongan bunga ditabur di atasnya. Jadilah, kubur. Meski bagian luar ditata indah.

Kuburan melekat dalam kenangan kematian manusia. Kematian, apapun sebabnya, memerikan kesan menakutkan. Jika harus memilih, tak seorang pun ingin mengakhiri hidup sesegera. Kecuali, keadaan tersulit menimpa, yang membuat orang harus mati muda. Seperti Soe Hok Gie, dalam konteks zamannya, pernah berkata, "berbahagialah mereka yang mati muda."

Berhadapan dengan wabah global, Covid-19 yang mengerikan, lonceng kematian manusia semakin dekat. Siap merenggut siapa saja. Seperti kematian akibat Covid-19 tidak melihat usia dan jenis kelamin.

Allah seperti 'Dealer Kendaraan'

Tak seorang, ingin mati sia-sia akibat virus tak kasat mata ini. Dalam ketakberdayaan, manusia bersandar pada kekuatan Yang Maha Kuasa. Manusia kembali merujuk pada Al-Quran, Alkitab, Taurat dan beberapa kisah dalam buku suci umat manusia, yang menggaris-bawahkan, kematian adalah takdir Allah/Tuhan/Yahwe. Allah yang menciptakan manusia dari tanah, dan Allah pula yang mengambil manusia kembali ke tanah.

Atas dasar iman itulah, peran Allah seperti 'dealer kendaraan'- jika terjadi tunggakan pembayaran/angsuran kendaraan akan ditarik. Manusia adalah kendaraan itu. Bila dipenuhi dosa dan salah, manusia ditarik pulang oleh Allah (Sang Dealer). Allah yang menentukan kematian manusia. Jadwal berhentinya nafas seorang manusia berada di kalender kerja-Nya. Masa kehidupan ditentukan oleh ketukan palu Allah.

Beriman yang Rasional

Bukan salah manusia beriman. Bukan pula salah pemuka agama mengajarkan teologi kematian yang demikian. Namun, seturut perubahan zaman, iman menuntut rasionalitas. Iman mesti dilengkapi daya kritis akal sehat. Iman membutuhkan ilmu pengetahuan. Begitu pula, iman akan kematian memerlukan tanggungjawab manusia untuk menjaga eksistensi (kelangsungan) hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun