Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Teologi Vaksinasi

26 Januari 2021   13:46 Diperbarui: 26 Januari 2021   18:43 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sinovac Vaksin Covid-19. Foto: via BBC.com

Yuval Noah Harari, penulis Israel dalam 'Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia' (2018) mengatakan, ada tiga hal yang membayangi eksistensi Sapiens (manusia modern) adalah perang, kelaparan dan wabah penyakit (war, famine, dan plague). Ketiganya, membawa dampak kematian. Entah dengan cara dikuburkan atau dikremasi, kehidupan manusia berakhir. Manusia menjadi mati.

Suatu malam saya melewati jalan setapak. Melintas pada sebuah pekuburan. Saya merinding. Bulu kuduk berdiri. Saya takut. Pasalnya, baru sore tadi, seorang pasien positif Covid-19 di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), dikuburkan. Persis pinggir sisi setapak itu, lilin masih bernyala.

Kesan Menakutkan 

Ingatan akan kuburan adalah memori tentang sesosok mayat, yang terbujur kaku, dilampirkan kain putih, dan kadang dimasukkan dalam peti. Peti lalu dikuburkan di dalam lubang 2-3 meter. Ditimbun tanah. Potongan-potongan bunga ditabur di atasnya. Jadilah, kubur. Meski bagian luar ditata indah.

Kuburan melekat dalam kenangan kematian manusia. Kematian, apapun sebabnya, memerikan kesan menakutkan. Jika harus memilih, tak seorang pun ingin mengakhiri hidup sesegera. Kecuali, keadaan tersulit menimpa, yang membuat orang harus mati muda. Seperti Soe Hok Gie, dalam konteks zamannya, pernah berkata, "berbahagialah mereka yang mati muda."

Berhadapan dengan wabah global, Covid-19 yang mengerikan, lonceng kematian manusia semakin dekat. Siap merenggut siapa saja. Seperti kematian akibat Covid-19 tidak melihat usia dan jenis kelamin.

Allah seperti 'Dealer Kendaraan'

Tak seorang, ingin mati sia-sia akibat virus tak kasat mata ini. Dalam ketakberdayaan, manusia bersandar pada kekuatan Yang Maha Kuasa. Manusia kembali merujuk pada Al-Quran, Alkitab, Taurat dan beberapa kisah dalam buku suci umat manusia, yang menggaris-bawahkan, kematian adalah takdir Allah/Tuhan/Yahwe. Allah yang menciptakan manusia dari tanah, dan Allah pula yang mengambil manusia kembali ke tanah.

Atas dasar iman itulah, peran Allah seperti 'dealer kendaraan'- jika terjadi tunggakan pembayaran/angsuran kendaraan akan ditarik. Manusia adalah kendaraan itu. Bila dipenuhi dosa dan salah, manusia ditarik pulang oleh Allah (Sang Dealer). Allah yang menentukan kematian manusia. Jadwal berhentinya nafas seorang manusia berada di kalender kerja-Nya. Masa kehidupan ditentukan oleh ketukan palu Allah.

Beriman yang Rasional

Bukan salah manusia beriman. Bukan pula salah pemuka agama mengajarkan teologi kematian yang demikian. Namun, seturut perubahan zaman, iman menuntut rasionalitas. Iman mesti dilengkapi daya kritis akal sehat. Iman membutuhkan ilmu pengetahuan. Begitu pula, iman akan kematian memerlukan tanggungjawab manusia untuk menjaga eksistensi (kelangsungan) hidupnya.

Di titik inilah, pandemi Covid-19 mengajak manusia pentingnya menjaga hubungan yang saling menguatkan kehidupan, antara iman dan akal sehat, dogma agama dan pengetahuan, hingga teologi dan filsafat. Singkatnya, iman harus berdampingan dengan kemajuan teknologi (buah dari ilmu pengetahuan).

Termasuk iman akan kematian, para ilmuwan mengatakan, kematian bukanlah ketetapan Allah. Ada pendapat yang lebih lunak, kematian bukan atas campur tangan Allah semata. Kematian, tidak lain, adalah problem teknis. Virus corona yang menyerang paru-paru-bagian pernapasan manusia merupakan kegagalan teknis itu. Disebabkan, oleh seseorang yang sudah terpapar, ia bersin, batuk, dan virus-virus itu menyebar ke orang lain.

Berteologi tentang Vaksin

Kegagalan teknis, dalam ilmu pengetahuan, selalu menawarkan solusi. Solusi pun sangat teknis. Contohnya, konsep 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas). 

Sambil, para ilmuwan kesehatan 'memutar otak' (berpikir) cepat. Mereka merancang solusi teknis lain, untuk membendung mutasi virus. Jadilah, vaksin, untuk keselamatan umat manusia.

Peralihan (passing over) konsep beriman yang rasional akan lonceng kematian akibat Covid-19 di atas sangat kontekstual. Diharapkan manusia menerima vaksin tanpa syarat. Vaksin adalah  wacana iman berdasarkan nalar akal sehat. Saya kecantol menggunakan istilah, 'teologi vaksinasi'. 

Artinya, siap dan menerima vaksin sebagai buah kerja akal sehat manusia, sebab Allah sendiri menciptakan manusia lengkap dengan akal/otak untuk berpikir, menemukan solusi-solusi praktis atas setiap problem penyakit Covid-19.

Konkretnya...

Konkretisasi teologi vaksinasi  yakni: pertama, melengkapi (bukan menghapus) konsep kematian dengan ilmu pengetahuan. Ini memang sulit. Pemuka agama tradisonal (yang jarang membaca perkembangan ilmu pengetahuan) pasti protes keras. Tapi, pandemi Covid-19 memaksa segera, bahwa, kematian bukan rancangan Allah semata.

Kematian adalah kegagalan teknis. Manusia kurang menjaga kesehatan diri, sesama dan lingkungannya. Misalnya, manusia  mungkin sudah terbiasa bersin, batuk dan buang air ludah/ingus di sembarang tempat.

Kedua, kematian akibat pandemi Covid-19 membuat manusia mesti melipatgandakan upaya untuk melindungi nyawa. Dengan perkembangan pengetahuan, manusia diharapkan bisa mengatasinya. Contohnya, para ahli kesehatan memastikan secara sungguh, bahwa uji laboratorium vaksin Covid-19 itu valid dan berkhasiat.

Dan, manusia yang lain, hanya dibutuhkan kerendahatian, menerima vaksin dengan penuh syukur. Syukur atas kehadiran vaksin merupakan kepenuhan iman akan Allah, yang menciptakan manusia dengan otak, untuk berpikir dan menemukan vaksin. Maka, ketika manusia siap divaksin, berarti iman akan Yang Kuasa semakin diteguhkan.

Ketiga, perlu investasikan lebih pada upaya merawat kehidupan. Manusia perlu investasi kesehatan. UU menuntut anggaran pendidikan 20 persen demi pendidikan generasi bangsa yang maksimal. Namun, di saat yang sama, manusia membiarkan Pustu, Puskesmas dan Rumah Sakit tanpa perlengkapan optimal.

Di Flores, hasil SWAB harus menunggu berhari-hari dari Kupang, ibukota NTT. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dalam kondisi 'benar-benar' sakit untuk menyambut, lalu merawat orang sakit. Dokter tidak ada, kalau pun ada, lebih sibuk di klinik praktek pribadi. Maka, saatnya, perlu membenahi problem tata kelola investasi kesehatan manusia.

Akhirnya, semoga iman (yang rasional) menyelamatkan manusia dan semesta. Amin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun