Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kelimutu

10 Oktober 2016   22:26 Diperbarui: 10 Oktober 2016   22:33 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puncak Kelimutu. Foto:phinemo.com

Wunu diam. Tak menjawab sehelai kata pun. Meski jauh dalam hatinya ingin menjawab, dan berteriak sekuat tenaga untuk menolak. Sebab ia tahu, sebelum kepergiaan atau saat-saat menjelang ajalnya, ibunda tak pernah berpesan bahwa ada utang yang belum sempat dilunasi. Ia tahu, walau hidup serba kekurangan, ibunda tak pernah meminta dan meminjam barang-barang milik orang-orang sekampung. Termasuk sebuah pacul. Hanya pacul. Tak pernah ia dan ibunda bekerja mengolah ladang dengan pacul. Sekali pun tak pernah.

Hingga Nitu, lelaki paruh baya beristri lima mengamuk dan menagih pacul setiap malam, menimbulkan sejuta tanya dan heran yang mendalam. Tak ada yang diwariskan sang bunda, kecuali nasihat dan sabda-sabda kehidupan untuk maknai di setiap perjalanan hidup. Tak ada pacul maupun tofa. Hanya sebilah parang warisan ayah.

Tak ada pilihan lain menghadapi sikap Nitu, lelaki beristri lima itu, selain diam. Seperti malam ini Wunu memilih tak buka mulut. Gadis sebatang kara itu duduk murung dalam gubuk yang gelap. Terus dalam hatinya teracik kuat tangis tertahan. Hingga matanya tertutup kantuk, berbaring lemah di samping tungku api, tanpa tikar apalagi bantal. Wunu sangat nyenyak.

***

Singgasana kemerah-merahan belum tampak. Wunu keluar dan berjalan kaki dari kampunnya, mendaki melewati kebun-kebun jagung dan kopi, menelusuri jejak-jejak para pencinta alam yang biasa menaklukan puncak Kelimutu setiap menjelang ‘pati ka du’a bapu ata mata’ (upcara tahunan memberi makan leluhur di puncak Kelimutu) itu. Tiba di puncak danau tiga warna itu jingga ranum mengintip di ufuk Timur.

Napas me-ngos-ngosan, sebab Wunu berjalan setengah berlari. Keringat sebesar biji jagung jatuh dari pori kulit wajah manisnya. Dibasuh saja dengan lawo (sarung khas daerah Lio yang dipakai anak gadis) itu. Lelah tak bisa dielakkannya.

Wunu tak peduli, meski puncak Kelimutu senyap. Tak seorang pun pengunjung sepagi itu. Ia tak takut dengan  cerita tetua di kampungnya, bahwa Kelimutu itu angker, jangan jalan sendiri, apalagi pagi masih buta.

Satu keyakinan Wunu, arwah orangtua dan leluhurnya di Danau Kelimutu melindungi dan menjaganya. Ia pun semakin berani, mendaki menuju puncak. Ketika berdiri di puncak itu, dekat tuguh, pandangannya mengarah ke Tiwu Ata Mbupu (danau arwah para orangtua).

Ine, oe ine eee, Oe ine” Wunu berseru, memanggil dan memanggil, dalam bahasa Ende-Lio artinya “Ibu, hai ibuuuuuuu”. Tangisnya pecah di puncak Kelimutu subuh itu.

Tak ada tanda-tanda suara muncul dari danau Tiwu Ata Mbupu yang akan menjawab, namun suara gemuruh, angin sepoi basah dan dingin sangat terasa.

Ine, oe ine e, kau simpan di mana pacul punya Ema Nitu” (Ibu, hai ibu, kau simpan di mana pacul milik bapak Nitu), seru Wunu lagi, dan semakin kecang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun