Nama Oei Pie (almarhum) adalah cikal bakal sebutan Ince Pia. Padahal, istilah sebenarnya adalah Tang Sin atau Hamba Allah. Warga yang sering memakai istilah Ence Pia, diharapkan untuk tidak menggunakan istilah ini lagi, karena Oei Pie atau Ce Pie sudah wafat hampir 180-an tahun yang lalu. Sejarah Tang Sin atau Toa Pe Kong atau Hamba Allah di Ban Hing Kiong (BHK) Manado sendiri, ternyata tidak lepas dari berdirinya persaudaraan Hap Tan atau persaudaraan anak-anak Altar Tuhan yang menyatu. Kurang lebih 189 tahun persaudaraan ini dibentuk, begitu pula lamanya Tang Sin atau Hamba Allah yang ada di BHK Manado.
Bagaimana dengan sejarah keluarnya Tang Sin sendiri? Data telah hangus terbakar pada 14 Maret 1970 silam, sehingga informasi akurat mengenai berapa kali Tang Sin keluar klenteng dalam ritual Goan Siau, sulit didapat lagi. Setidaknya, ritual Goan Siau kurang lebih seratus lima puluh kali keluar klenteng, dan kurang lebih 38 kali tidak keluar klenteng untuk melakukan prosesi Goan Siau, perhitungannya dengan asumsi dalam lima tahun, hanya sekali saja prosesi Goan Siau tidak keluar klenteng.
Syarat menjadi Tang Sin adalah seorang Umat Tri Dharma yang setia dan mau mengabdi, serta bersedia mengikat perjanjian dalam melaksanakan tugas mulia ini dengan Allah. Karena untuk menjadi Tang Sin setidaknya harus mengikuti dan mematuhi ajaran Firman Allah yang dipercayai umat Tri Dharma. Disebutkannya, Tang Sin di BHK Manado sudah men-capai keturunan kelima pada marga Oei.
Tang Sin pertama adalah Oei Pie, disusul Tang Sin kedua Oei Kiem Soen (almarhum). Lamanya tugas mulia kedua orang ini tidak diketahui lagi. Kemudian Tang Sin ketiga adalah Oei Beng Djien (almarhum), lamanya mengemban tugas suci ini hampir 55 tahun dari tahun 1916-1971. Selanjutnya Tang Sin dengan nama lahiriah Sam Sondakh (almarhum) yang masih dalam ikatan marga Oei.
Lamanya mengemban tugas 26 tahun, dari 1971-1997 dan langsung diganti oleh anaknya sebagai Tang Sin kelima dengan nama lahiriah Andry Sondakh mengemban tugas suci sebagai Hamba Allah, guna menghalau segala hal yang buruk dari iblis dan menanggung penderitaan umat manusia dan menyucikan kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya.
DALAM PERPEKTIF KEBANGSAAN INDONESIA
Penetapan penanggalan Imlek ini dulunya dikenal dengan He Lek yaitu penanggalan Dinasti Xia (2100-1600 SM) yang memperkenalkan sistem penanggalan berdasarkan Solar (Matahari), maka Imlek jatuh pada musim semi. Di Indonesia orang Tionghoa merayakan imlek ke 2567/2016, dihitung sejak 551 SM, yang diambil dari tahun kelahiran Kong Ho Cu. Bagi masyarakat Tionghoa Indonesia Imlek bukan sekedar hari raya yang patut diperingati karena merupakan tradisi. Tetapi Imlek memiliki makna lebih dalam. Imlek menjadi sebuah makna identitas dan kebangsaan.Â
Penghargaan perayaan Imlek menjadi hari besar nasional merupakan penghormatan kepada Agama Kong Ho Cu dan telah menjadi budaya bangsaTionghoa di samping hari raya Agama lain seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Imlek menjadi bukti pengakuan bahwa tradisi kaum Tionghoa yang diperingati diseluruh dunia telah lebur menjadi tradisi Indonesia .
Jalan panjang pengakuan Hari Raya Imlek sebagai hari libur Nasional tidak terlepas dari perjuangan masyarakat Tionghoa sebagai sebuah etnis bangsa Indonesia. Setelah mengalami masa diskriminasi yang cukup lama pada masa Orde Baru. Pada penghujung pemerintahannya Soeharto mulai menyadari kesalahan kebijakan diskriminasi yang selama ini diterapakan dengan pencabutan persyaratan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) melalui Keppres Nomor 56 tahun 1996. Lanjut dengan langkah Presiden BJ Habibie melalui keppres Nomor 26 tahun 1998 tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintaan yang selama ini menjadi stigma dalam kebijakan pemerintah.
Reformasi kependudukan dan kebangsaan warga Tionghoa terus berlanjut pada era Presiden Abdurahman Wahid, dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 tentang pencabutan Intruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiada Cina. Pada masa Gusdur ini masyarakat Tionghoa mulai menikmati kebebasan dalam mengekpresikan kebudayaan Tionghoa. Tarian Barongsai dan Liong yang selama ini hanya dipertunjukan di dalam kelenteng mulai hadir di muka publik Indonesia. Dan perayaan Imlek walaupun belum diputuskan sebagai hari raya Nasional, selalu meriah dilaksanakan. Kemeriahan Imlek mulai dirasakan hampir disemua tempat yang memiliki komunitas Tionghoa bahkan di Mal dan pusat perbelanjaan.
Puncaknya pada era Presiden Megawati Soekarno Putri melalui Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2002 maka secara resmi Hari Raya Imlek diperingati secara nasional sebagai hari libur nasional.  Ini merupakan penghargaan tertinggi dari perjuangan masyarakat Tionghoa untuk pengakuan sebagai sebuah elemen yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pengakuan masyarakat Tionghoa sebagai elemen bangsa Indonesia terus berlanjut hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dimana menjelaskan bahwa yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga Negara Indonesia.