Mohon tunggu...
Rolin Taneo
Rolin Taneo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemulung Ilmu

Tertarik pada bidang ilmu filsafat, sosiologi dan teologi (Kristen)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Gereja yang Terus Dibarui, Refleksi Reformasi Gereja ke-507 Tahun

31 Oktober 2024   10:32 Diperbarui: 31 Oktober 2024   16:14 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah Singkat Reformasi

31 Oktober 1517, tampil seorang imam yang gagah berani mengkritik praktik tak lazim yang ada dalam tubuh gereja. 

Namanya ialah Martin Luther, seorang imam di Jerman. Luther menilai bahwa gereja telah salah arah. Ada banyak praktik janggal yang harus diubah.

Kesalahan atau salah langka yang dilakukan oleh gereja era itu ialah penjualan surat indulgensi (penghapus dosa), pemimpin gereja yang cenderung otoriter dan juga korup.

Sebagai langkah protes akan tindakan ini maka Luther berani menempelkan 95  dalil kritiknya di depan Gereja Wittenberg.

Luther ingin agar setidaknya berkenan, gereja sadar akan tindakan salah ini dan mawas diri untuk kemudian melakukan pembenahan.

Siapa sangka, niat baik Luther justru dianggap sebagai seorang pemberontak di dalam tubuh gereja. 

Ia kemudian diperiksa hingga pada akhirnya, di tahun 1521, Luther harus dikucilkan.

Sekalipun begitu, perjuangan Luther juga mendapatkan respons yang baik di kalangan umat. 

Untuk seterusnya, lahir pula banyak tokoh reformator, seperti Johanes Calvin, Zwingli dan lain-lain yang tetap berani meneruskan spirit pembaruan.

Para reformator tampil dengan mengedepankan spirit sola. 

Sola Gracia (hanya karena anugerah), Sola Fide (hanya karena iman), dan Sola Scriptura (sumber kebenaran ditemui hanya dalam Alkitab).

Perjuangan untuk mandiri dalam iman dan kebenaran ini, dikemudian hari dikenal sebagai Gereja Protestan. 

Kadang kata Protestan dinilai sebagai kritik tapi jauh dari itu Protestan adalah cara menjaga nama baik gereja sebagai citra Kristus.

Reformasi Vs Tendensi Agama dan Jalan Menuju Dialog

Poin ini penulis taruh sebagai bagian dari memaparkan suatu fakta sejarah bahwa ternyata Reformasi Gereja yang dilakukan oleh Luther telah meninggalkan luka bagi sejarah gereja Katolik.

Tendesi ini selalu muncul hingga sekarang. Tidak usah cari contoh jauh-jauh, perhatikan di media sosial, ternyata di sana ada saling serang antar pemuka agama, dengan dalih berapologetika (membela apa yang diimani).

Yang satu hadir dengan alasan hirarki gereja, yang lain datang dengan dalih Imamat Am Orang Percaya. Yang atau membela otoritas mutlak wakil Allah, yang punya kapasitas mengutuk, yang lain datang dengan spirit sola.


Baik rohaniwan Protestan maupun Katolik begitu gigih membela keyakinan ketika telah tiba pada bahasan tentang Reformasi gereja.

Penulis tidak tertarik berlama-lama tenggelam dalam perdebatan tanpa akhir terkait hal ini. 

Penulis memilih jakan dialog, jalan mencari perdamaian bersama sebab soal iman adalah soal penyerahan diri pada Allah oleh tiap insan.

Dialog, atau hubungan ekumenis ini adalah kesadaran kita yang berbeda keyakinan tentang persaudaraan antar umat Allah. 

Ingat doa Yesus, "Supaya mereka menjadi satu", (Yoh.17:21). Itu doa seorang gembala agar domba-dombanya hidup akur, hidup berdampingan, hidup dalam kebersamaan, dan saling mencintai satu sama lain. Inilah spirit lain dari Reformasi Gereja.

Menemukan Spirit dalam Konteks Kekinian : Contoh Kasus di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

Gereja, sampai kapanpun akan ada dalam semangat pembaruan. Banyak hal yang harus gereja lakukan untuk terus berteologi, sesuai dengan konteks zaman, tapi sambil tetap mendasarkan upaya ini dalam kebenaran iman dan Alkitab.

Di GMIT sendiri sudah ada banyak catatan pembaruan iman yang dilakukan, seperti gereja peduli budaya, gereja peduli lingkungan, gereja peduli kemanusiaan, dan kepedulian gereja lainnya.

Ajaran gereja pun demikian. Tapi, ada gejolak lain yang juga lahir dalam tubuh GMIT sebagai anak kandung gereja Reformasi. 

Gejolak ini adalah gejolak positif dalam hemat penulis. Iya, sebab gereja sejati adalah gereja yang tidak cepat-cepat merasa nyaman dan menganggap sudah benar dan bersih.

Selalu ada tantangan mereformasi diri. Ecclesia Reformata, Semper Reformanda, itulah semboyan Reformasi Gereja yang akan terus melintas zaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun