Mohon tunggu...
Rolin Taneo
Rolin Taneo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemulung Ilmu

Tertarik pada bidang ilmu filsafat, sosiologi dan teologi (Kristen)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menarikan Tarian Kehidupan

22 Mei 2024   20:29 Diperbarui: 22 Mei 2024   20:44 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengantar

Orang NTT itu hidup dalam pola hubungan yang mengedepankan kebersamaan. Karena itu, akan tidak lengkap kalau keluarga tidak dilibatkan. 

Ambil contoh, kalau ada anak wisuda, kita bilang tidak ada acara tapi hanya doa keluarga. 

Kita lalu undang beberapa tetangga, kenalan dan keluarga untuk ada dalam rasa bahagia dengan kita. 

Tanda kebersamaan itu ialah makan bersama. Biar hanya makan nasi dengan lauk ala kadarnya, yang penting itu sama-sama kita rasakan. 

Kalau sampai kemudian kita lupa undang dalam acara itu, kita lalu dicap lupa diri, lupa keluarga. 

Contoh lain, perhatikan tarian orang-orang NTT. Umumnya kita menari dalam lingkaran kebersamaan. 

Masing-masing berpegangan tangan, menghentakkan kaki dan mulai menari. Semua memancarkan wajah gembira. 

Tarian kebersamaan itu adalah tarian kehidupan. Kita majemuk tetapi kita hidup dalam kebersamaan. Masing-masing belajar saling membersamai. 

Pendalaman Teks

Tentu budaya hidup bersama ini ada nilai baiknya. Alkitab juga menyetujui pola hidup seperti ini. Perhatikan kehidupan jemaat mula-mula. Mereka membangun relasi dari semangat kebersamaan. 

Untuk menguji spirit kebersamaan itu maka kita perlu sertakan alat ukur atau indikatornya. 

Dari Kisah Para Rasul 2:41-47, alat ukur itu ialah berdoa, memuji Allah dan memecahkan roti (ayat 42).

Ini artinya bahwa ibadah tidak hanya sebatas duduk diam tetapi ibadah juga berarti tindakan nyata. Kita lalu kenal istilah ora et labora, berdoa dan bekerja. 

Jemaat mula-mula menghidupi pola ini. Mereka berdoa-memuji Allah tetapi juga bersedia bekerja menjadi berkat bagi sesamanya yang lain. 

Apa yang ada pada mereka itu mereka keluarkan untuk dinikmati bersama. Mereka tidak jadi orang yang pelit atau kikir (ayat 44).

Kita tentu bertanya, mengapa sampai jemaat mula-mula bersedia melakukan semangat berbagi? 

Bukankah nanti yang ada hanya kerugian kalau ternyata yang berbagi itu hanya satu tetapi yang lain tidak? 

Menjawab pertanyaan ini maka kita perlu lihat ayat 46. Setelah dari Bait Allah, mereka datang ke rumah sesama anggota jemaat yang sudah bersedia untuk menerima mereka guna menjalankan jamuan bersama. 

Kita lihat bahwa mereka tidak fokus pada satu tempat saja melainkan di beberapa titik tempat. 

Dengan demikian, tidak ada keluarga yang merasa menanggung semua hal, termasuk makan-minum

Di samping itu, semangat beribadah dan memecahkan roti bersama ini mereka lakukan supaya meningkatkan kebersamaan mereka oleh karena status mereka pada saat itu masih menjadi kaum minoritas. 

Jika mereka tidak saling peduli maka bisa dipastikan bahwa persekutuan di antara mereka tidak akan bertahan lama. 

Pola ini juga menjadi daya tarik tersendiri pada saat itu. Mereka mampu merawat kebersamaan itu. 

Hasilnya, banyak orang menjadi takjub dan memberi diri menjadi bagian dari persekutuan. Malah, dari hari ke hari jumlah mereka itu bertambah (ayat 47).

Jemaat mula-mula sedang menarikan tarian cinta Allah Trinitas. Tarian itu adalah tarian merangkul. 

Tarian kehidupan. Tarian perikoresis itu pada akhirnya menghidupkan orang-orang menghargai kehidupan. 

Pesan Teks

Dari bacaan ini kita dapat belajar beberapa hal :

1. Ibadah itu tidak hanya sebatas tindakan datang, berdoa, dengar firman lalu pulang tanpa tindak lanjut. 

Sebaliknya, ibadah itu juga bermakna aksi konkret. Ibadah kita harus mampu menjangkau sesama yang lain. 

2. Kita harus bisa ciptakan komunitas yang nyaman dan bahagia. Kalau ini tercipta, pasti tidak ada anggota jemaat yang memilih untuk keluar dari persekutuan. 

Ini bukan tugas gampang karena kita hidup dalam dunia yang serba mengutamakan kepentingan diri. Semua mau bersaing. 

Tidak salah kalau persaingan itu dilakuan secara sehat tapi kalau didasari dengan iri hati, itu bisa mendatangkan kecelakaan bagi diri sendiri dan komunitas percaya. 

3. Jika ingin memastikan bahwa persekutuan itu tetap hidup maka jangan coba-coba bawa masuk budaya hidup egois dan individual dalam persekutuan. 

Jangan mau menang sendiri. Yang ada hanya kehancuran bukan kesatuan. Semoga kita bisa bertumbuh menjadi komunitas percaya yang selalu peduli satu sama lain. Imanuel

Catatan : Naskah ini merupakan pengembangan khotbah yang disampaikan dalam ibadah rayon 10 & 11 Jemaat Imanuel Oepura (22 & 23 Mei 2024).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun